‘Banjir’ Pujian untuk Sosok Wahiddudin Adams
Utama

‘Banjir’ Pujian untuk Sosok Wahiddudin Adams

Ada pesan moral dari Wahiduddin Adams bahwa bangsa ini harus berpikir serius dalam pembentukan suatu UU. Sebab, pemenuhan pembentukan suatu UU bukan hanya memiliki arti formal, tapi berimplikasi secara langsung terhadap materi UU itu sendiri.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 7 Menit
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Foto: Humas MK
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Foto: Humas MK

Pasca pembacaan Putusan MK No. 79/PUU-XVII/2019 pada Selasa (4/5/2021) kemarin yang menolak uji formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi sorotan publik. Sebab, hanya dia yang mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda) dari 9 hakim konstitusi saat memutus uji formil UU KPK ini.     

Wahiduddin menganggap seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan membatalkan keseluruhan UU No. 19 Tahun 2019 dan kembali ke UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam pertimbangannya, Wahiduddin menilai beberapa perubahan dalam UU KPK secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.

Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu relatif sangat singkat dan momentum spesifik yakni Hasil Pemilu 2019 telah diketahui. “Singkatnya waktu pembentukan UU ini jelas berpengaruh signifikan terhadap sangat minimnya partisipasi masyarakat,” demikian pandangan Wahiduddin dalam pertimbangan putusan ini. (Baca Juga: Mengintip Dissenting Wahiduddin Adams dalam Putusan Uji Formil UU KPK)

Jaminan konstitusionalitas pembentukan suatu Undang-Undang tidaklah semata-mata hanya didasarkan pada ketentuan Pasal 5, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A UUD UUD NRI Tahun 1945, melainkan wajib didasarkan pula pada Staatsidee berdasarkan kearifan asli bangsa Indonesia serta pasal-pasal terkait lain dalam UUD NRI Tahun 1945 yang selama ini umumnya lazim digunakan sebagai dasar (batu uji, red) dalam pengujian UU secara materiil.

“Mencermati secara seksama berbagai aspek formil terkait prosedur pembentukan UU KPK ini, saya meyakini dan berpendirian seluruh tahapan prosedural pembentukan UU secara kasat mata memang telah ditempuh oleh Pembentuk UU. Namun, yang sejatinya terjadi adalah hampir pada setiap tahapan prosedur pembentukan UU a quo terdapat berbagai persoalan konstitusionalitas dan moralitas yang cukup serius,” bebernya.

Oleh karena RUU ini merupakan usul inisiatif DPR, maka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disiapkan oleh Presiden. “Dengan diperolehnya fakta dari keterangan Pembentuk UU bahwa Raker pertama dilaksanakan tanggal 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019, sulit bagi saya untuk tidak menyimpulkan bahwa DIM RUU ini disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.”

“Berdasarkan 3 opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya ber-ijtihad untuk menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini yaitu menyatakan pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” simpulnya.  

Banyak pujian

Dissenting ini mendapat banyak pujian dan apresiasi dari berbagai kalangan. Direktur Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengapresiasi sikap yang ditunjukan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams karena berani menolak proses pengesahan Revisi UU KPK yang cacat formil dan melanggar konstitusi. “Salam Hormat saya pada Hakim Konstitusi Wahidudin Adams yang dengan tegas dissenting opinion dan menjelaskan kenapa Revisi UU KPK melanggar konstitusi secara formil dan cacat moralitas. Selebihnya saya sudah bisa menduga, akan bersikap seperti itu. Sudah diprediksi,” kata Isnur dalam statusnya melalui akun Facebook-nya.

Advokat Konstitusi, Viktor Santoso Tandiasa juga menyampaikan apresiasi dan rasa hormat kepada YM Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams karena berani menyampaikan dissenting opinion. “Sadis, dissenting opinion YM. Dr. Wahiduddin Adams dalam putusan uji formil UU KPK, membuat saya merinding, Ini benar-benar menunjukan perannya sebagai penjaga konstitusi. Hormat, sehormat-hormatnya untuk beliau,” tulis Viktor melalui akun Facebook-nya.

"Melihat narasi dissenting opinion dan nada membacanya, saya merasa beliau terganggu common sense-nya sebagai seorang yang puluhan tahun bekerja di dunia perundang-undangan dengan puncak karirnya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, saat mengetahui proses yang begitu mengobrak-abrik pakem yang sudah dengan susah payah beliau susun dengan baik." 

Dia menilai disitulah terlihat konsistensi serta ketegaran prinsipnya sebagai seorang negarawan dan penjaga konstitusi sejati. "Mari kita selalu mendoakan agar beliau tetap diberikan kesehatan dan umur panjang dalam menjalani tugas-tugasnya di MK," harapnya. 

Ada juga yang berharap argumentasi dissenting tersebut seharusnya menjadi pertimbangan putusan uji formil UU KPK ini. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai uji formil UU memang belum ada yang dikabulkan oleh MK. Ada harapan buat kita semua mengira akan “pecah telor”. Artinya uji formil UU KPK berharap besar bisa dikabulkan MK. Namun, semua terkecoh karena dengan begitu yakin dengan mata telanjang, tidak usah menggunakan ahli hukum dan politik bahwa pembuatan revisi UU KPK sudah berantakan.

“Namun kita semua tidak menyangka bahwa Hakim MK Wahiduddin Adams melakukan dissenting opinion. Argumentasi yang dibuat oleh Wahiduddin dalam dissenting-nya sangat bagus sekali. Seharusnya yang menjadi pertimbangan putusan yang sebenarnya adalah argumentasi yang ada di dalam dissenting-nya Wahiduddin Adams,” kata dia dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Menyibak Putusan MK dalam Pengujian Formil dan Material Revisi UU KPK”, Kamis (6/5/2021) kemarin. 

Dalam kesempatan yang sama, Mantan Pimpinan KPK, Laode M Syarif menilai ditolaknya uji formil KPK dengan alasan yang sangat dibuat-buat. Dirinya hanya sedikit terhibur dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang mengajukan dissenting opinion.

Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai dissenting opinion Wahiduddin Adams memperlihatkan ada keinginan memperbaiki proses pembentukan UU KPK yang karut marut. Sebab, bila hakim konstitusi tidak memperbaiki proses itu, DPR dan pemerintah akan semakin abai dalam pembentukan UU.

“Kondisi pembentukan UU seperti ini akan mengabaikan kepentingan publik/masyarakat dan sering membuat UU untuk kepentingan sekelonpok orang saja,” kata Feri saat dihubungi Hukumonline, belum lama ini.

Menurutnya, meskipun putusan MK terkait pengujian UU KPK ini sangat buruk, tetapi dissenting opinion Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memperlihatkan ada yang salah di MK dalam memahami tata cara pembentukan UU KPK ini sejak awal. (Baca Juga: Dua Pakar Hukum Ini Kritik Keras Putusan Pengujian UU KPK)

Dasar pijakan konstitusional

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Ilham Wayank Hermawan menilai 4 argumentasi Wahiduddin Adams sebagai indikator spesifik yang menyebabkan UU KPK mengandung persoalan konstitusionalitas. Pertama, tidak diterimanya common sense DIM RUU KPK yang hanya disiapkan kurang dari 24 jam. Kedua, tidak lazimnya letak narasi pengesahan dan pengundangan. Ketiga, relatif cepat menetapkan revisi UU KPK menjadi UU, meskipun Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU KPK. Keempat, penilaian Wahiduddin terhadap keterangan komisioner KPK selaku Pihak Terkait.

“Tapi, bagi saya ada hal yang lebih menarik yakni apa yang menjadi pijakan dasar Wahiduddin Adams sebagai alas untuk meletakan seluruh narasi argumentasi konstitusionalnya. Suatu pijakan yang membangunkan saya secara pribadi harus membaca berulang-ulang, harus merenung ulang, sebagai bentuk betapa terpaku dengan apa yang dinyatakannya tersebut,” kata dia dalam status facebooknya yang dikutip Hukumonline.

Wahiduddin Adams menyatakan “Jaminan konstitusionalitasnya pembentukan suatu Undang-Undang tidaklah semata-mata hanya dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 5, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945, melainkan wajib didasarkan pula pada Staatsidee yang berdasarkan kearifan asli bangsa Indonesia serta pasal-pasal terkait lainnya dalam UUD NRI Tahun 1945...”

Pernyataan tersebut, kata Ilham, Wahiduddin Adams menekankan pentingnya pembentukan suatu UU. Wajah pembentukan suatu UU bukan hanya wajah formal dari adanya ketentuan UU dan UUD, tetapi merupakan kebajikan moral suatu bangsa. Kata “bangsa” yang digunakan bukan tanpa dasar. Wahiduddin Adams menyebutnya “Staatsidee”. Secara teori staatsidee terbentuk dari filsafat hidup bangsa.

“Moch Koesnoe menyatakan dari filsafat hidup kita bentuk rechtsidee (cita hukum) yang kemudian menjadi konsep hukum yang kategoris dan asas-asas hukum yang pada akhirnya menjadi staatsidee yang merupakan pondasi semua norma hukum positif termasuk UUD. Maka tepatlah Wahiduddin Adams menyatakan bahwa pembentukan suatu UU harus sesuai dengan 'kearifan asli bangsa Indonesia',”.

Bahkan, jika ditelisik berdasarkan teori penafsiran konstitusi cara pembacaan Wahiduddin Adams bernuansa seperangkat nilai dasar, atau adanya tradisi hak alami sebagaimana dinyatakan Grey yang disebut dengan Fundamental Law. “Jadi konstitusional dinilai sebagai seperangkat fakta moral atau keadilan yang membentuk konstitusi,” jelasnya mendefinisikan maksud dari dissenting Wahiduddin Adams.

Menurut Ilham, ada pesan moral dari Wahiduddin Adams bahwa bangsa ini harus berpikir serius dalam pembentukan suatu UU. Sebab, pemenuhan pembentukan suatu UU bukan hanya memiliki arti formal, tapi berimplikasi secara langsung terhadap materi UU itu sendiri. Jika terdapat pasal “jantung” dalam UU yang jika dibatalkan dapat membatalkan UU secara keseluruhan. “Ketiadaan pemenuhannya (secara formal, red) bukan hanya membatalkan UU itu sendiri, akan tetapi Undang-Undang itu anggap tidak pernah ada.”

Untuk diketahui, Wahiduddin Adams merupakan hakim konstitusi usulan DPR untuk periode pertama 21 Maret 2014 s.d. 21 Maret 2019 dan berlanjut ke periode kedua 21 Maret 2019 s.d. 21 Maret 2024. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Wahiduddin Adams terakhir menjabat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan pada Kemenkumham. Sebagai mantan pejabat eselon I yang mengurusi proses pembentukan di pemerintahan ini, tentu Wahiduddin tahu betul bagaimana prosedur pembuatan peraturan perundangan-undangan yang baik.

Antara pekerjaannya sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan dengan Hakim Konstitusi ada persamaan. Tolak ukurnya tetap sama, Undang-Undang Dasar 1945. Saat pembentukan kita berusaha agar tidak bertentangan dengan UUD 1945). Kalau di sini ya menguji undang-undang yang telah dibuat pemerintah dan DPR terhadap UUD 1945,” ujar Wahiduddin seperti dilansir laman MK.      

Latar belakang pendidikan Wahiddiuddin merupakan bidang ilmu Peradilan Islam dari Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta hingga meraih gelar doktor di universitas yang sama. Ia juga tercatat sebagai dosen PNS di universitas yang kini bernama UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah dan Hukum. Lalu, Pria kelahiran Palembang, 17 Januari 1954 ini memparipurnakan pendidikannya dengan mengambil program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah demi meraih gelar sarjana hukum pada tahun 2005 setelah ia meraih gelar doktor.

Tags:

Berita Terkait