Barang Palsu dan Langgar Kekayaan Intelektual di E-Commerce: Tanggungjawab Siapa?
Berita

Barang Palsu dan Langgar Kekayaan Intelektual di E-Commerce: Tanggungjawab Siapa?

Mengapa masih banyak sekali produk KW yang dijual di platform-platform e-commerce? Bukankah itu jelas melanggar HKI? bagaimana pertanggungjawaban platform dalam hal ini?

Oleh:
Hamalatul Qur’ani
Bacaan 2 Menit

Bahkan, kata Danny, platform E-Commerce juga bisa dituntut atas pelanggaran Pasal 55 KUHP  jika terindikasi melakukan 2 hal berikut, Pertama, tidak tanggap atas laporan pelanggaran HKI yang diperdagangkan di platformnya; Kedua, telah mengetahui adanya case namun mengabaikan (terlibat melakukan pidana). Dalam hal ini, laporan pidana bisa diajukan baik terhadap account penjual maupun melaporkan online platform itu sendiri. (Baca: Asosiasi Pengajar HKI Soroti Lemahnya Regulasi Hak Kekayaan Intelektual)

Ditambahkan Senior Associate K&K Advocate, Fajar Budiman untuk penanganan sisi merek, procurement bisa dilakukan dengan penyiapan fasilitas sebagai proses filterisasi awal terkait indikasi produk-produk yang diduga melanggar merek. Misalnya, untuk produk-produk premium seperti LV, bisa difilterisasi dengan monitoring secara berkala terkait ‘apakah harga yang dicantumkan untuk barang itu masuk akal dan sesuai dengan standar yang seharusnya?’.

Selain itu, platform juga bisa melakukan pengecekan apakah Indonesia mengizinkan barang-barang tersebut diperdagangkan di Indonesia. “Jadi perlu ada identifikasi pelanggaran dan validasi atas produk tersebut,” kata Fajar. (Baca: Pandemi Covid-19, Pelaku Usaha Didorong Daftar Kekayaan Intelektual Secara Online)

Lantas mengapa masih banyak sekali produk KW yang dijual di platform-platform e-commerce? Apakah persyaratan bahwa sistem harus menindaklanjuti pelaporan secara cepat tak diimplementasikan dengan baik? Dirjen HKI Kemenkumham, Freddy Harris mengungkapkan hal itu terjadi disinyalir bisa saja karena sifat dari pemidanaan atas pelanggaran merek dalam UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis masuk dalam kategori delik aduan (lihat Pasal 103 jo.Pasal 100 dan 102 UU Merek). “Jadi harus ada yang mengadukan dulu, baru bisa ditindaklanjuti,” jelasnya.

Dengan begitu, bila tak ada yang mengadukan, maka platform tidak bisa dikatakan telah melakukan perbuatan pidana. Freddy sendiri sebetulnya sangat menyayangkan bila pelanggaran merek masuk kategori delik aduan, berbeda dengan UU Merek sebelumnya (UU No. 15 tahun 2001) yang penindakannya bisa dilakukan atas inisiatif DJKI. Terlebih lagi, bila satu akun penjual sudah di-take down, tidak butuh waktu yang lama bagi penjual ini untuk membuat lagi akun baru. Freddy sendiri tak menampik bila memang banyak sekali barang-barang KW yang diperjualbelikan di platform secara online.

Dalam pemaparannya, setidaknya ada 3 alternatif yang bisa ditempuh pihak yang dirugikan akibat pelanggaran KI. Pertama, melalui gugatan perdata kepada Pengadilan Niaga. Permohonan gugatan yang diajukan bisa untuk menuntut adanya ganti rugi beserta permohonan penghentian perbuatan atau kegiatan (produksi, pengedaran dan/atau pedagangan barang dan/atau jasa tersebut). Alternatif kedua, cukup banyak ditempuh para pelaku usaha, yakni melalui Mediasi. Baru kemudian alternatif pidana yang dilakukan dengan delik aduan melalui proses penyidikan berdasarkan laporan/pengaduan kepada penyidik Polri atau PPNS DJKI.

Tags:

Berita Terkait