Basuki Rekso Wibowo: Penyusunan Hukum Acara Perdata Nasional Sudah Mendesak
Mengupas Hukum Acara Perdata:

Basuki Rekso Wibowo: Penyusunan Hukum Acara Perdata Nasional Sudah Mendesak

DPR dan Pemerintah sudah membahas RUU KUH Pidana, sedangkan hukum acara pidana sudah selesai diundangkan sejak 1981.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Saya melihat sudah cukup walau masih butuh update dengan perkembangan terkini baik dengan kebutuhan peradilan perdata kita atau bagaimana kita menengok peradilan perdata di negara lain yang berpotensi diadopsi di sini, jadi kita sudah antisipasi. Menurut saya BPHN sudah cukup mengupdate draft tersebut sampai perkembangan terkini.

 

Apa yang paling diingat dari draft itu?

Misalnya memanggil para pihak berperkara menggunakan teknologi informasi (IT). Itu satu hal yang akan mengubah jalannya proses peradilan kita. Selam ini pemanggilan menggunakan relaas, ini secara teknis sulit, tapi bisa di atasi dengan IT. Tapi IT tidak bisa diterapkan menyeluruh, harus bertahap karena belum semua daerah punya kemampuan yang sama. Tapi di kota besar harus bisa. Misal, sidang di Jaktim, pihak di Jaksel, kalau mekanisme selama ini kan delegasi, pengadilan di Jaktim kirim ke Selatan baru ke pihak, kalau lewat IT kan bisa langsung ke pihak.

 

Kemudian, praktik peradilan yang selama ini sudah diisi lewat perma seperti mediasi itu tidak ada. Ada di 130 HIR, itu perdamaian dading, kalau mediasi kan suatu proses atau tahapan yang harusnya materi UU.

 

Kemudian, gugatan sederhana (small claim court) itu di Perma, di HIR ini tidak ada, tapi di draft sudah masuk. Lalu class action di Undang-Undang tidak ada tapi di Perma ada dan ini sudah masuk draft. Ada pemikiran citizen lawsuit, ini kan tidak dikenal dalam sistem peradilan kita namun akan muncul, ini sudah ada antisipasi ke sana. Memang ada satu pemikiran apakah eksekusi putusan perdata itu ditangani oleh pengadilan atau lembaga lain? Ini masih perdebatan belum tuntas. Ada mengatakan ini bagian proses pengadilan, tapi ada yg sebut pengadilan selesai setelah perkara diputus.

 

Kemudian, PK, ini upaya hukum luar biasa, dalam UU No. 14 Tahun 1985 alasan PK kan A sampai F. Alasan yang sering digunakan adalah kekeliruan nyata dan kekhilafan hakim, ini kan elastis. Maka pemikiran ke depan alasan PK dibatasi, tidak lagi memuat kekhilafan nyata dan kekeliruan hakim tapi utamanya pada novum. Itu yang saya ingat spontan, tapi di RUU itu banyak memuat hal baru. Di antaranya berasal dari Perma, atau yurisprudensi atau praktik negara lain yang itu semua belum diatur dalam HIR atau RBG. Kemudian mengakhiri dualisme perdata selama ini pake HIR dan RBG. Tapi yang jelas di RUU cukup maju untuk menyongsong peradilan perdata yang modern.

 

Bagaimana peran hakim dalam perkembangan hukum acara perdata?

Yurisprudensi hukum acara perdata merupakan suatu sumber hukum acara perdata, tapi sistem peradilan kita ini tidak menganut preseden, jadi sifatnya itu tentatif apakah mau diikuti atau tidak. Tapi menurut saya kalau itu sudah konstan, sudah diikuti terus ya ikut lah, kecuali ada hal baru yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipertimbangkan dalam yurisprudensi.

 

Perlukah kodifikasi Hukum Acara Perdata?

Menurut saya ke depan trennya tidak mungkin kodifikasi, model Code Napoleon itu sudah tidak  mungkin karena tidak semua dapat ditampung dalam sebuah Undang-Undang, mungkin aturan yang bersifat umum itu masih boleh. Tapi kalau teknis spesifik sesuai karakteristik masing-masing perkara itu perlu diatur lewat UU tersendiri, ini lex spesialis.

Tags:

Berita Terkait