Batal Menikah, MK Diminta Melegalkan Kawin Beda Agama
Utama

Batal Menikah, MK Diminta Melegalkan Kawin Beda Agama

Pemohon meminta MK menafsirkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membuka peluang kawin beda agama yang didasarkan pada kehendak bebas kedua calon mempelai.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Merasa kesal batal menikah gara-gara kawin beda agama, E Ramos Petege, “mengadukan” masalahnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui tim kuasa hukumnya, Ramos mempersoalkan berlakunya Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan setiap perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.  

Permohonan yang sudah resmi teregistrasi di Kepaniteraan MK ini bukan tanpa sebab. Pemohon yang memeluk agama Khatolik pernah hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Tetapi, setelah menjalin hubungan selama 4 tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, perkawinan tersebut harus dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional Pemohon, tidak dapat menikah karena adanya intervensi golongan yang diakomodir negara. Perkawinan yang seharusnya didasarkan pada kehendak bebas para calon mempelai, tapi menjadi kehendak golongan (agama tertentu, red) untuk menentukan dapat atau tidaknya perkawinan dilangsungkan.

“Meski ada konsensualisme kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan dan harus dengan menundukan salah satu agama, perkawinan ini tetap dibatalkan oleh pihak mempelai wanita karena sahnya sebuah perkawinan ditentukan hukum agama yang berlaku,” begitu bunyi permohonan yang dikutip dari laman MK.

(Baca Juga: Inilah Babak Akhir Judicial Review Kawin Beda Agama)

Intinya, Pemohon meminta MK menafsirkan agar Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan membuka peluang perkawinan beda agama yang didasarkan pada kehendak bebas kedua calon mempelai.

“Menyatakan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, ber adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu. Selain itu, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menjadi berbunyi perkawinan berbeda agama dan kepercayaan dapat dilakukan dengan memilih salah satu metode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan pengukuhan kembali di muka sidang,” demikian bunyi petitum permohonan ini.     

Dalam alasan permohonannya, Pemohon menilai praktik yang paling sering terjadi dalam perkawinan beda agama di Indonesia, salah satu pihak menekan pihak lain untuk tunduk pada suatu golongan atau ajaran agama tertentu. Hal ini tentu telah terjadi pelanggaran HAM terkait kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sesuai amanat Pasal 28E ayat (1) UUD Tahun 1945 dan kebebasan untuk meyakini kepercayaan dan menyatakan sikap sesuai hati nuraninya sebagaimana diatur Pasal 28E ayat (2) UUD Tahun 1945.

Akan tetapi, hal ini terjadi karena negara memfasilitasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran itu dengan menjadikan sahnya perkawinan ini ditentukan oleh golongan atau ajaran agama yang dianut kedua belah pihak. Bukan menjadi preferensi atau hak dari individu kedua mempelai untuk memilih bagaimana perkawinan mereka hendak dilangsungkan.

“Untuk mempertahankan atau menundukan keyakinaan sepenuhnya diberikan hak kepada mereka untuk memilih, bukan menjadi hak golongan atau instansi yang dimediasi oleh negara menghakimi bentuk kerohanian atau keagamaan yang harus dianut dalam perkawinan ini,” dalih Pemohon.

Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah memediasi adanya intervensi golongan agama untuk memaksakan kehendak dengan menjadikan hukum agama dan kepercayaan masing-masing sebagai syarat keabsahan perkawinan yang secara nyata menciderai HAM yang dilindungi Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD Tahun 1945.

Selain itu, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dapat dikatakan sebagai pasal yang mencerminkan bahwa negara telah mengintervensi atau mencampuradukkan perihal administrasi dengan pelaksanaan ajaran agama karena telah melanggar kebebasan internal individu untuk memiliki kebebasan berpikir, berkata sesuai hati nurani, dan beragama.

Baginya, hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Sebab, setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas. Hal ini selaras dengan penjelasan Komnas HAM yang menyebutkan kebebasan internal (internal freedom) merupakan kebebasan yang tidak dapat diintervensi oleh negara.

Pada dasarnya, kata Pemohon, ketiadaan hukum secara tegas mengenai pernikahan beda agama atau penolakan perkawinan beda agama di Indonesia merupakan tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. “Tidak diakuinya sebuah pernikahan yang disebabkan perbedaan agama merupakan tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 28B ayat (1) UUD Tahun 1945.”

Untuk dketahui, dalam Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 silam, MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama yang dimohonkan seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI.

Kala itu, para pemohon mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan, terutama berkaitan dengan keabsahan kawin beda agama. Norma pasal itu dinilai pemohon berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan negara terhadap kawin beda agama. Namun, MK menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Mahkamah menganggap UU Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Terlebih, Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang yang salah satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama.

“Karena itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.  

Tags:

Berita Terkait