Batalkan Syarat Remisi Kejahatan Khusus, ICW: MA Hendak Menyamakan Seluruh Kejahatan
Terbaru

Batalkan Syarat Remisi Kejahatan Khusus, ICW: MA Hendak Menyamakan Seluruh Kejahatan

MA dinilai inkonsisten dengan putusannya sendiri dan keliru melihat persoalan over kapasitas di lembaga pemasyarakatan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Pasal 34A dan Pasal 43A Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terkait syarat khusus (tambahan) pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa, seperti perkara korupsi, terorisme, dan narkoba. Putusan MA ini dianggap sebagai sebuah kemunduran dalam pemberantasan korupsi karena pemberian remisi berlakunya bagi semua terpidana.

Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan dibatalkannya sejumlah pasal dalam PP 99 /2012 itu menunjukan lembaga peradilan tak mendukung upaya pemberantasan korupsi. “Akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman,” ujar Kurnia Ramadhana kepada Hukumonline, Senin (1/11/2021). (Baca Juga: MA Kabulkan Uji Materi PP Remisi, Ini Respons KPK)  

Kurnia melanjutkan setidaknya terdapat tiga isu yang dijadikan pertimbangan MA dalam membatalkan PP 99/2012. Pertama, PP 99/2012 dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan dengan prinsip restorative justice. Kedua, regulasi itu juga dipandang diskriminatif karena membeda-bedakan perlakuan kepada para terpidana. Ketiga, kehadiran PP tersebut mengakibatkan kondisi overcrowded di lembaga pemasyarakatan. 

Dia melihat terdapat tiga poin penting yang menjadi sorotan. Pertama, MA inkonsisten terhadap putusannya sendiri. Sebab, sebelumnya terdapat putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015. Kedua putusan itu, MA tegas berpendapat perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan/tindak pidana, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan terpidana.

Baginya, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD Tahun 1945. Konsep ini tertera dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Apalagi, secara eksplisit MA dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime terhadap tindak pidana korupsi. 

Kedua, pandangan Majelis Hakim MA yang menilai pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice keliru. Menurutnya, pemaknaan model restorative justice semestinya lebih pada pemberian remisinya, bukan pada syarat pengetatannya. Secara konsep, pemberian remisi menjadi hak setiap terpidana yang telah dijamin UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sementara syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi.

“Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya,” tudingnya.  

Tags:

Berita Terkait