Beberapa Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana Oleh: Nefa Claudia Meliala*)
Kolom

Beberapa Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana Oleh: Nefa Claudia Meliala*)

Secara teoritis, sengaja sebagai sadar kemungkinan adalah situasi dimana pelaku pada akhirnya dianggap “menyetujui” akibat yang mungkin terjadi.

Bacaan 2 Menit
Beberapa Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana Oleh: Nefa Claudia Meliala*)
Hukumonline

Beberapa waktu belakangan publik ramai memperbincangkan Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Novel Baswedan yang menuntut para Terdakwa dalam kasus tersebut dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan alasan para Terdakwa “tidak sengaja” melukai mata Novel. Penuntut Umum menyebutkan bahwa kedua Terdakwa “tidak sengaja” menyiram air keras ke wajah Novel. Menurut jaksa, keduanya hanya ingin menyiramkan air keras tersebut ke tubuh Novel. Jaksa juga menyatakan bahwa dalam fakta persidangan terungkap bahwa para Terdakwa tidak ingin melakukan penganiayaan berat, namun hanya ingin memberi pelajaran kepada Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras.

Jaksa mendakwa para Terdakwa dengan menggunakan konstruksi dakwaan primair Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo. Pasal 355 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara, subsidair Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo. Pasal 353 ayat 1 dan 2 KUHP tentang penganiayaan dengan rencana lebih dahulu yang mengakibatkan luka berat dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara, lebih subsidair Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo. Pasal 351 ayat 1 dan 2 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan luka berat dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara.

Jaksa berpendirian bahwa dalam kasus ini dakwaan primair tidak terbukti sehingga para Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut dan selanjutnya jaksa membuktikan dakwaan subsidair. Terkait dakwaan jaksa yang dinilai terlalu ringan apabila dibandingkan dengan ancaman maksimal dalam dakwaan subsidair, jaksa menyatakan bahwa alasan yang meringankan tuntutan adalah para Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dalam persidangan dan telah meminta maaf kepada keluarga korban dan institusi Polri serta menyatakan menyesali perbuatan mereka.

Tulisan singkat ini hanya akan fokus pada uraian mengenai unsur “sengaja” dalam hukum pidana sebagai salah satu isu yang mengundang begitu banyak perdebatan dalam kasus ini.

Kesalahan sebagai salah satu syarat pemidanaan

Berbicara mengenai dolus (sengaja) dan culpa (lalai) dalam hukum pidana masuk dalam pembahasan mengenai asas kesalahan (culpabilitas) sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum pidana yang pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan dalam dirinya. Asas ini dikenal juga dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, geen straaf zonder schuld, nulla poena sine culpa, actus non facit reum, nisi mens sit rea.

Dalam hukum pidana, kesalahan adalah dasar pencelaan terhadap sikap batin seseorang. Seseorang dikatakan memiliki kesalahan apabila sikap batinnya dapat dicela atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (sikap batin yang jahat/tercela). Kesalahan sebagai salah satu syarat pemidanaan merupakan kesalahan dalam pengertian yuridis, bukan kesalahan dalam pengertian moral atau sosial. Kesalahan yuridis adalah kesalahan yang memenuhi unsur-unsur yuridis, yaitu :

  1. Pelaku memiliki kemampuan bertanggungjawab ;
  2. Terdapat hubungan batin antara pelaku dan perbuatan, dimana bentuk kesalahan dapat berupa sengaja (dolus/opzet) atau alpa/lalai (culpa) ; dan
  3. Tidak terdapat alasan yang menghapus kesalahan (alasan pemaaf).

Asas ini dikenal sejak munculnya Melk en water Arrest tahun 1916 (Arrest susu dan air). Sejak kasus tersebut baru dipahami bahwa seseorang dapat dipidana bukan hanya karena perbuatannya bersifat melawan hukum, tetapi juga karena terdapat unsur kesalahan dalam diri yang bersangkutan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan dan menunjukkan hubungan batin antara pelaku dan perbuatan.

Dolus atau culpa?

Dengan mengacu pada Memorie van Toelichting (M.v.T), dolus/opzet (sengaja) diartikan sebagai willen en wetten atau menghendaki dan mengetahui. Van Hatum menjelaskan bahwa menghendaki diartikan sebagai menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatan (opzet als oogmerk), sementara mengetahui diartikan sebagai mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatan (opzet als wetenschap).

Terdapat beberapa teori mengenai pengertian dolus/opzet (sengaja), yaitu :

  1. Teori kehendak (wils theorie). Teori ini menyatakanbahwa sengaja adalah kehendak melakukan suatu perbuatan dan kehendak menimbulkan suatu akibat tertentu dari perbuatan itu. Dalam hal ini akibat memang dikehendaki dan benar-benar merupakan maksud dari perbuatan yang dilakukan tersebut. Dengan kata lain, kesengajaan pelaku ditujukan kepada perbuatan dan akibat dari perbuatan itu.
  1. Teori pengetahuan/membayangkan (voorstellings-theorie). Teori ini menyatakanbahwasengaja itu ada apabila suatu akibat yang ditimbulkan suatu perbuatan sekalipun akibat tersebut tidak dikehendaki namun patut diduga (dapat dibayangkan) dapat/mungkin terjadi.

Opzet delict (delik yang harus dilakukan dengan sengaja) dirumuskan dengan menggunakan macam-macam istilah, seperti “dengan sengaja”, “mengetahui”, “padahal mengetahui”, “dengan maksud untuk”, “yang diketahui bahwa”, “diketahui sebagai”, “yang telah diketahui”, “mengerti”, “bertentangan dengan apa yang diketahui”, “yang maksudnya terang”, “niat” (pasal 53) KUHP atau dapat juga disimpulkan dari bunyi pasalnya sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam rumusan pasal, misalnya pasal 285 KUHP tentang perkosaan dalam unsur “memaksa”.

Secara umum, terdapat tiga bentuk dolus/opzet (sengaja), yaitu :

  1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) dimana perbuatan yang dilakukan dan akibat yang terjadi memang menjadi tujuan pelaku ;
  2. Sengaja sebagai sadar kepastian/sengaja sebagai sadar keharusan (opzet bij zekerheids-bewustzijn) dimana akibat yang terjadi bukanlah akibat yang menjadi tujuan, tetapi untuk mencapai suatu akibat yang benar-benar dituju, memang harus dilakukan perbuatan lain tersebut sehingga dalam hal ini perbuatan menghasilkan 2 (dua) akibat, yaitu :
  1. Akibat pertama sebagai akibat yang dikehendaki pelaku; dan
  2. Akibat kedua sebagai akibat yang tidak dikehendaki pelaku tetapi harus terjadi agar akibat pertama (akibat yang dikehendaki) benar-benar terjadi.
  1. Sengaja sebagai sadar kemungkinan/sengaja sebagai sadar bersyarat (dolus eventualis/voorwadelijk opzet/opzet bij mogelijkheids bewustzijn) dimana dengan dilakukannya suatu perbuatan, pelaku menyadari kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki, namun kesadaran tentang kemungkinan terjadinya akibat lain itu tidak membuat pelaku membatalkan niatnya dan ternyata akibat yang tidak dituju tersebut benar-benar terjadi. Dengan kata lain, pelaku pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya akibat yang dilarang undang-undang, namun ia mengabaikannya dan kemungkinan itu ternyata benar-benar terjadi. Arrest Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911 (Hoornse taart arrest) menjadi putusan yang hampir selalu dirujuk saat membahas bentuk kesengajaan dalam gradasi ketiga ini.

Sementara itu, culpa (lalai/alpa) diartikan sebagai situasi dimana seseorang seharusnya melakukan tindakan penghati-hatian namun tidak melakukannya (tidak adanya kehati-hatian) atau seharusnya melakukan penduga-dugaan namun tidak melakukannya  (kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul). Kelalaian/kealpaan ini kemudian dibagi menjadi kelalaian/kealpaan yang disadari (bewuste schuld) dan kelalaian/kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dalam kelalaian/kealpaan yang disadari (bewuste schuld), pelaku dapat membayangkan/memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat atas perbuatannya namun ia percaya dan berharap akibatnya tidak akan terjadi dan melakukan upaya pencegahan agar akibat yang tidak dikehendaki itu tidak terjadi. Sementara itu, dalam kelalaian/kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), pelaku tidak dapat membayangkan/memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat atas perbuatannya padahal seharusnya ia dapat menduganya.

Culpose delict (delik kealpaan) dirumuskan dengan menggunakan kata-kata “karena kealpaannya”. Dalam hukum pidana, kealpaan/kelalaian yang dapat dipidana hanyalah (culpa lata), yaitu culpa dengan kadar/derajat kekurang hati-hatian dan kekurang penduga-dugaan seseorang yang sangat besar (sangat lalai/alpa). Sementara kealpaan/kelalaian yang kadar/derajatkurang hati-hatian dan kurang penduga-dugaannya kecil (culpa levis) tidak dapat dipidana.

Batasan antara dolus eventualis dan bewuste schuld

Secara teoritis, sengaja sebagai sadar kemungkinan/sengaja sebagai sadar bersyarat (dolus eventualis/voorwadelijk opzet/opzet bij mogelijkheids bewustzijn) adalah situasi dimana pelaku pada akhirnya dianggap “menyetujui” akibat yang mungkin terjadi. Sementara dalam kealpaan/kelalaian yang diadari (bewuste schuld), pelaku “tidak menyetujui” akibat yang mungkin terjadi namun yang bersangkutan tetap melakukan perbuatan yang mungkin menimbulkan akibat tersebutkarena merasa yakin akibat tidak akan terjadi karena telah dilakukannya upaya pencegahan.

Merujuk pada kronologis kasus penyiraman Novel, Terdakwa RK dan RB seharusnya tetap dapat dikategorikan “sengaja” sekalipun mungkin bukan dalam gradasi pertama. Akibat yang timbul yaitu luka berat yang dialami Novel pada matanya yang disebut-sebut sebagai akibat yang tidak dikehendaki tetap patut diduga (dapat dibayangkan) dapat/mungkin terjadi sebagai akibat dari penyiraman air keras yang dilakukan. Dengan kata lain, pada saat penyiraman dilakukan, pelaku seharusnya menyadari kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak dikehendaki, namun kesadaran tentang kemungkinan terjadinya akibat lain itu tidak membuat pelaku membatalkan niatnya dan ternyata akibat yang tidak dituju tersebut benar-benar terjadi. Dengan demikian, pelaku pada akhirnya dianggap “menyetujui” akibat yang mungkin terjadi.

Dengan menggunakan tafsir otentik, ketentuan pasal 90 KUHP mendefinisikan luka berat sebagai jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu pancaindera; mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Beberapa catatan menarik terkait pasal penganiayaan yang didakwakan jaksa dalam kasus ini adalah undang-undang tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan penganiayaan sehingga kita harus mengacu pada berbagai doktrin dalam ilmu hukum pidana yang pada intinya mendefinisikan penganiayaan sebagai sengaja menyebabkan penderitaan, rasa sakit atau luka atau sengaja merusak kesehatan orang.

Ketentuan mengenai penganiayaan yang diatur dalam Bab XX KUHP juga tidak merumuskan unsur “sengaja” sebagai unsur tertulis. Namun karena sifat perbuatannya, penganiayaan tetap dapat disimpulkan harus diliputi dengan kesengajaan dan tidak mungkin dilakukan dengan “tidak sengaja”.  Hal penting lain yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan putusan adalah apakah betul kesengajaan pelaku hanya ditujukan kepada penganiayaan yang ternyata berujung luka berat atau lebih dari itu memang sejak awal ditujukan kepada penganiyaan yang menyebabkan luka berat mengingat penggunaan air keras yang dapat menyebabkan luka bakar, cacat fisik sampai kematian.

*)Nefa Claudia Meliala adalah Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait