Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I)
Kolom

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I)

Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan J. Satrio mengenai somasi.

Oleh:
J. Satrio
Bacaan 2 Menit

 

Konsekuensinya, surat yang tidak berisi perintah/teguran agar debitur berprestasi bukan merupakan somasi. Surat yang berisi kata-kata “kami menunggu penyerahan pesanan kami“ tidak berlaku sebagai suatu somasi. Namun pernyataan dalam gugatan, yang tidak dibantah oleh debitur, bahwa debitur-pemimpin-gudang telah menolak permintaan, yang diajukan berkali-kali, untuk menyerahkan barang yang dititipkan dalam gudangnya, sudah dianggap sebagai suatu somasi (R.v.J. Surabaya 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367). Kiranya yang disebut surat perintah tidak selalu harus memakai nada memerintah. Surat yang berbunyi: “kami menunggu kiriman paling lambat tanggal….. yang akan datang.”, sudah cukup untuk dinilai sebagai suatu peringatan kapan selambat-lambatnya debitur diminta untuk berprestasi. Yang penting dalam surat teguran nampak tuntutan kreditur akan prestasi  debitur. Mengeluh saja atas tidak adanya penyerahan dari debitur, tidak bisa ditafsirkan sebagai suatu somasi. Sudah bisa diduga akan menjadi masalah, bagaimana menafsirkan suatu surat, apakah merupakan suatu pemberitahuan ataukah sudah merupakan suatu perintah. Semuanya harus dinilai in concreto.

 

Apakah debitur baru berada dalam keadaan lalai, kalau telah dinyatakan berada dalam keadaan lalai? Berdasarkan redaksi Pasal 1238 BW, debitur berada dalam keadaan lalai bisa karena, setelah diperingatkan dengan benar untuk berprestasi, debitur –tanpa dasar yang bisa dibenarkan-- tetap tidak berprestasi atau bisa juga debitur wanprestasi --tanpa perlu somasi-- atas dasar sifat perikatannya (J. Satrio, 1993 : 106).

         

Untuk peristiwa dimana debitur sudah berada dalam keadaan lalai karena sifat perikatan itu sendiri (atau “demi perikatannya sendiri“, Ps. 1238 BW), di sana tidak diperlukan somasi dan karenanya disana tidak ada masalah somasi. Contohnya, kalau ada perjanjian jual beli taart penganten, yang harus diserahkan pada hari pernikahan, tetapi pada hari itu taart tidak dikirimkan, maka pembuat roti sudah wanprestasi dengan lewatnya hari yang disepakati, tanpa perlu lagi ada somasi. Taart itu sudah tidak bernilai lagi atau paling tidak sudah tidak bernilai seperti seandainya taart itu diserahkan pada waktunya (pada hari pernikahan). Kesimpulannya, kalau karena penyerahan yang terlambat, tidak dapat lagi dicapai apa yang dituju oleh kreditur dengan membuat perjanjian itu, maka dengan lewatnya waktu saja sudah terjadi mora ex re, tanpa perlu ada somasi lagi. Mora ex re artinya dengan lewatnya jangka waktu yang disepakati saja, debitur sudah berada dalam keadaan lalai. Jadi tidak perlu somasi. Orang yang lalai melaksanakan kewajibannya disebut telah wanprestasi.

 

Bentuk Pernyataan Lalai

Dalam Pasal 1238 BW disebutkan tentang “perintah“  atau “akta sejenis“. Yang dimaksud dengan “perintah“ adalah exploit juru sita (A.Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, 1979: 54; L.E.H. Rutten, hal. 177). Exploit juru sita sebenarnya merupakan sarana menyampaikan pesan (perintah) secara lisan; salinan atas surat – yang telah dibuat sebelumnya -- yang disampaikan oleh juru sita yang berisi pesan itu disebut exploit, dan karena disampaikan oleh juru sita maka disebut exploit juru sita.

 

 

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah yang dimaksud dengan “akta sejenis“? Kalau istilah “akta sejenis“ diartikan sebagai sejenis dengan “perintah“ -- yang ditafsirkan sebagai exploit jurusita – maka bentuknya harus tertulis. Malahan bisa dipermasalahkan, apakah “akta sejenis“ itu harus berbentuk otentik, mengingat exploit juru sita merupakan akta otentik (Star Busman, hal. 37). Dulu memang penulis-penulis menafsirkannya sebagai akta otentik (L.E.H. Rutten, hal. 177), yang sekarang tidak dianut lagi. MA bahkan pernah mengemukakan pendapatnya dengan tegas bahwa: “Permintaan untuk memenuhi (het vragen van nakoming) yang diperjanjikan tidak diharuskan dengan tegoran juru sita (MA 12 Juni 1957 no. 117 K/Sip/1956, dimuat dalam RYMARI 1993, hal. 134 ). Sekarang doktrin maupun yurisprudensi sepakat, bahwa somasi itu harus berbentuk tertulis dan  tidak perlu dalam bentuk otentik (A. Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, 1979 : 55; L.E.H. Rutten, 1973 : 177; MA 1 Juli 1959 no. 186 K/Sip/1959 dimuat dalam RYMARI, 1993, hal 242).

 

Jadi, apakah teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima sebagai suatu somasi? Ya, somasi bisa diberikan dalam bentuk surat biasa (R.v.J. Surabaya 28 Agustus 1912, dalam T. 106 : 367) dan tidak harus disampaikan  melalui exploit juru sita.

 

Apa beda antara akta biasa dengan exploit juru sita? Exploit juru sita merupakan akta otentik (Ps. 1868 BW) dan karenanya mempunyai kekuatan bukti yang sempurna (Ps. 1870 BW). Kreditur, yang menegur debitur dengan surat biasa, harus mengatur sendiri, agar nantinya ia bisa membuktikan telah memberikan somasi secara sah. Yang pasti, somasi secara lisan tidak dibenarkan. Dengan kata lain, teguran secara lisan tidak berlaku sebagai suatu somasi (HgH Batavia, 24 Desember 1936, dalam T. 145 : 10).

Tags: