Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV)
Kolom

Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV)

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tiga tulisan terdahulu. Masih membahas soal somasi dikaitkan dengan asas exceptio non adempleti contractus.

Oleh:
J. Satrio
Bacaan 2 Menit

 

Kalau kreditur masih menghendaki prestasi yang benar dari debitur –dengan kata lain masih menghendaki debitur menyerahkan benda yang diperjanjikan-- maka kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Undang-undang –dalam peristiwa salah berprestasi -- tidak menuntut adanya somasi lebih dahulu (HgH Batavia 3 November 1904). Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan dipunyai kreditur berdasarkan perikatan itu sendiri. Kreditur cukup protes, menawarkan penyerahan kembali benda yang telah diberikan kepadanya, dan minta penyerahan benda yang telah diperjanjikan.

 

Yang tidak memerlukan somasi

Bagaimana kalau kreditur masih menghendaki penyerahan prestasi yang benar, tetapi disamping itu juga menuntut ganti rugi?

 

Memang dengan wanprestasinya debitur, kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan perikatan disertai dengan ganti rugi (Pasal 1267 BW), namun untuk itu debitur harus sudah berada dalam keadaan lalai, sehingga disini diperlukan adanya somasi (Pasal 1243 BW).

 

Masalahnya sekarang, apakah dengan prestasi yang keliru, debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi dan karenanya tidak perlu ada somasi lagi? Dengan konsekuensinya, kreditur bisa menuntut pemenuhan disertai dengan ganti rugi atau menuntut pembatalan perikatan atau menuntut pembatalan disertai dengan ganti rugi?

 

Kalau --seperti disebutkan di atas-- salah berprestasi adalah sama dengan tidak berprestasi, maka mestinya pada peristiwa salah berprestasi, sama dengan pada peristiwa tidak berprestasi, tidak perlu ada somasi, karena dengan itu saja ia sudah dalam keadaan lalai dan karenanya wanprestasi (Rutten, Verbintenissenrecht, hal. 176). Dengan demikian, kalau gugatan kreditur didasarkan atas tindakan debitur yang bertentangan dengan kewajibannya dalam perjanjian, tidak perlu didahului dengan suatu somasi (HgH Batavia 3 November 1904, dimuat dalam Duparc hal. 63). Demikian pula penjual yang melancarkan tuntutan pembatalan perjanjian, tidak memerlukan somasi, kalau pembeli telah menghalang-halangi penjual untuk berprestasi (R.v.J. Batavia, 2 Januari 1903, dimuat dalam Duparc hal. 62). Kalau atas tuntutan ganti rugi yang dilancarkan kreditur, debitur membayar hutangnya, maka tidak perlu dipermasalahkan, bahwa kreditur belum melancarkan somasi (R.v.J. Semarang 22 April 1903, dimuat dalam Duparc hal. 62). Pernyataan debitur, bahwa ia  secara sepihak membatalkan perjanjian, dianggap sebagai pernyataan, bahwa debitur tidak mau memenuhi kewajiban perikatannya, dan karenanya terhadapnya tidak perlu lagi dilayangkan suatu somasi (R.v.J. Batavia 3 Februari 1904, dimuat dalam Duparc hal. 6). Pernyataan debitur, bahwa barang yang menjadi kewajibanya untuk diserahkan – yang berupa barang yang adanya pada musim tertentu saja -- tidak bisa didapat lagi, karena semuanya hasil panen musim itu telah dijual semua, merupakan pernyataan yang berakibat, bahwa untuk menuntut pembatalan dan atau ganti rugi, tidak perlu ada somasi lagi (R.v.J. Surabaya 29 Agustus 1906, dimuat dalam Duparc hal. 63). Dengan demikian, pernyataan debitur, bahwa ia tidak mau berprestasi, ada kalanya bisa ditafsirkan, bahwa debitur dengan sikapnya menolak berprestasi, tidak akan berubah dengan dilancarkannya somasi, atas sikap mana adalah patut, kalau kreditur tidak perlu lagi melancarkan somasi dan debitur sudah membawa dirinya dalam keadaan lalai.

 

Permasalahannya adalah, kalau orang yang terlambat berprestasi, baru dianggap telah wanprestasi, kalau ia setelah disomir dan tetap saja tidak memenuhi somasinya, sedang orang yang keliru berprestasi, dengan kekeliruan itu dianggap sudah wanprestasi, maka kepada mereka yang salah berprestasi tidak diberikan kesempatan (hak) untuk memperbaiki kekeliruannya, demi untuk menghindarkan diri dari berada dalam keadaan lalai. Apakah pendapat seperti tersebut di atas patut?

 

Dasar pemikirannya adalah, kalau debitur memberikan prestasi yang keliru --yang tidak baik– maka ia memang tidak telah memenuhi kewajiban perikatannya, ia telah melanggar apa yang telah disepakati dan karenanya telah melakukan pelanggaran kontrak yang positif (tidak memberikan yang seharusnya diberikan). Di sini kesalahannya ada pada prestasinya itu sendiri, bukan karena keterlambatan berprestasi, sehingga tidak bisa diterapkan ketentuan tentang keterlambatan prestasi. Pada keterlambatan prestasi memang debitur baru wanprestasi, kalau -tanpa ada dasar yang dibenarkan – tidak telah berprestasi sebagaimana mestinya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: