Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian V)
Kolom

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian V)

Tulisan mengenai upaya memperbaiki kelalaian ini merupakan bagian akhir atau penutup dari rangkaian artikel tentang somasi.

Oleh:
J. Satrio
Bacaan 2 Menit

 

Kita coba telusuri dulu, bagaimana posisi debitur dalam waktu, antara saat debitur wanprestasi dan saat kreditur menyatakan sikanya. Kita perlu mencari tahu, sejak kapan suatu perikatan batal atas dasar adanya wanprestasi. Berdasarkan Pasal 1266 BW, semua perjanjian timbal balik mengandung syarat batal, yaitu perjanjian menjadi batal, kalau dipenuhi syarat: debitur wanprestasi. Namun kebatalan itu tidak terjadi demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Nah, sekarang kita perlu tahu, hak kreditur untuk menuntut pembatalan perjanjian berlangsung sampai kapan?  Pasal 1454 BW mengatakan: “Dalam semua hal, dimana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu adalah 5 tahun”.

 

Apa kesimpulan yang bisa kita tarik? Ternyata kreditur boleh menunggu sampai 5 tahun sebelum ia terpaksa harus menyatakan, bahwa ia menghendaki perjanjian dibatalkan. Selama 5 tahun kreditur boleh tinggal diam dulu.

 

Apa konsekuensinya bagi debitur? Karena atas wanprestasi dari debitur, kreditur punya beberapa pilihan sikap, yaitu  - (i) menuntut pemenuhan, baik disertai atau tidak disertai dengan ganti rugi,  - (ii) menuntut pembatalan, dengan disertai atau tanpa tuntutan ganti rugi, maka selama waktu debitur hidup dalam ketidakpastian. Debitur tidak bisa menduga sikap apa yang akan diambil oleh kreditur, yang berarti ia tidak bisa membuat persiapan prestasi yang pasti.

 

Untuk menjaga kemungkinan kreditur tetap menuntut pemenuhan, maka debitur harus menyiapkan prestasi yang akan dituntut oleh kreditur, terutama karena ada resiko kenaikan harga. Kalau prestasi itu belum dipunyai oleh debitur, maka ia harus cepat-cepat membelinya dari pihak lain, untuk menjaga kenaikan harga. Apalagi kalau kreditur menuntut ganti rugi juga. Bukankah ganti rugi dalam peristiwa seperti itu dihitung dari selisih antara harga pada saat transaksi ditutup dengan harga pada saat prestasi diberikan? Namun tidak ada yang bisa menjamin atau menerka, apakah kreditur benar akan menuntut pemenuhan. Bukankah kreditur bisa menuntut pembatalan? Kalau kreditur menuntut pembatalan, maka semua persiapan menjadi tidak berguna. Bayangkan kalau prestasi sudah disiapkan oleh debitur dan setelah menunggu sekian tahun, tahu-tahu kreditur minta pembatalan, berapa ruginya debitur? Memang harus diakui, bahwa semua itu terjadi karena ulah debitur sendiri, bukankah itu buntut dari wanprestasinya debitur? Dan di samping itu, dengan wanprestasinya debitur, debitur mungkin sekali telah membawa kreditur dalam keadaan yang tidak baik dan kesempatan kepada debitur untuk memaksakan prestasi susulan bisa membuat posisi kreditur menjadi lebih sulit (Rutten, Verbintenissenrecht, hal. 185).

 

Namun patut untuk juga dipertimbangkan, apakah kreditur patut untuk menyiksa debitur, kalau kreditur bisa mencapai hasil yang sama dengan cara yang lebih sedikit menyiksa debitur, kalau kreditur tidak punya keperluan untuk berbuat seperti itu? Bukankah bisa kita katakan, bahwa sikap kreditur menunda-nunda pernyataan sikapnya, tanpa suatu kepentingan yang patut, merupakan penyalahgunaan hak dan karenanya sikap yang demikian adalah melawan hukum? Paling tidak, bukankah sikap kreditur seperti itu menunjukkan adanya iktikad buruk dari kreditur, dan karenanya tidak perlu mendapat perlindungan hukum?

 

Dengan latar belakang pemikiran seperti tersebut di atas, kiranya kita bisa mengerti pendirian para sarjana, yang menyetujui prinsip, bahwa selama kreditur, atas wanprestasinya debitur,  belum mengambil sikap, yang tidak memungkinkan lagi debitur menyusulkan prestasi dengan tanpa merugikan kreditur, maka kiranya patut, kalau debitur bisa mendesak agar kreditur menerima prestasi susulan debitur. “ Mendesak “ di sini adalah “ secara sepihak “ memaksa kreditur untuk menerima susulan prestasi. Kalau dengan persetujuan kreditur, tidak perlu dipermasalahkan. Para pihak bisa saling sepakat untuk merubah perjanjian, bahkan bisa membatalkan perjanjian yang ada (Pasal 1338 ayat 2 BW). Dengan dibenarkannya debitur menyusulkan prestasi sesudah debitur wanprestasi, maka debitur sekarang punya sarana untuk mengakhiri waktu penantian pernyataan sikap kreditur – yang tanpa ada kepastian -- yang sangat menyakitkan baginya.

 

Yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa dengan menyusulkan prestasi, debitur tidak lagi memikul akibat dari wanprestasi, unsur kelalaiannya menjadi hapus, dengan konsekuensinya lebih lanjut, kreditur tidak berhak atas tuntutan ganti rugi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: