Begini Alasan Pemerintah Tetap Dorong RUU Cipta Kerja
Berita

Begini Alasan Pemerintah Tetap Dorong RUU Cipta Kerja

Untuk genjot investasi, Pemerintah telah mempersiapkan 36 RPP dan 7 Perpres turunan Omnibus Law.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Kenali Ragam Hambatan Izin Usaha via OSS).

Ketua BPKM menambahkan, peningkatan sumber daya manusia di Dinas Penanaman Modal-Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) terus dilatih agar bisa cepat menyesuaikan diri dengan perubahan, mengingat BKPM memang didapuk sebagai sentra delegasi perizinan dari 22 Kementerian sektor dan Lembaga sejak berlakunya Inpres No. 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

Sumber Persoalan

Bahlil menyebutkan tiga sumber utama penghambat eksekusi investasi, yakni regulasi yang tumpang tindih; egosektoral antara Kementerian/Lembaga, bupati, gubernur dan walikota; dan ‘hantu berdasi’. Ketiga sumber utama ini ditemukan saat BKPM mengkaji terhambatnya investasi sebesar 708 triliun rupiah selama bertahun-tahun. Meskipun sudah ada program penomoran izin berusaha, tetap saja NIB tak bisa memangkas waktu perizinan hingga tiga jam. Penyebabnya, investor tetapi diwajibkan memperoleh notifikasi dari kementerian atau lembaga (K/L) terkait.

“Akhirnya, saya minta dikeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2019. Jadi seluruh izin dari 22 Kementerian dan Lembaga kini didelegasikan ke BKPM. Di situ waktunya bisa kita pangkas,” jelasnya.

Alhasil, katanya, realisasi investasi pada akhir 2019 mencapai Rp809 triliun (surplus sekitar Rp17,6 triliun). Persoalannya, kendati pada tataran K/L bisa diselesaikan melalui Inpres, bagaimana halnya dengan Pemda? Tidak sedikit Pemda menerbitkan aturan di level daerah yang potensial bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Mereka berlindung di balik UU Pemerintahan Daerah.

Bagaimana dengan kewenangan perizinan di tangan Pemda? Bahlil menegaskan tidak akan ada pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dalam RUU Omnibus. Jika ada perda yang bertentangan, Pemerintah akan melakukan harmonisasi.

Dalam panel diskusi, Airlangga Hartanto juga menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan melakukan sentralisasi. Solusi yang dikeluarkan, katanya, Pemerintah Pusat, Daerah dan Kementrian didorong untuk memiliki Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang sama. “Jadi yang ditarik adalah service level agreement-nya,” tukas Airlangga.

Partner Firma Hukum Assegaf Hamzah & Partners, Ahmad Fikri Assegaf menyayangkan jika sentralisasi tak dilakukan di Omnibus Law. Pengalaman dalam implementasi sistem OSS, katanya, jika izin dijalankan di daerah kabupaten/kota, namun bupati atau walikotanya menentang, ujungnya investasi tetap tak akan bisa dieksekusi. Untuk itu, ia menganjurkan penarikan kewenangan daerah dan menteri diambil alih pemerintahh pusat untuk kemudian didistribusikan kembali.

“Pemda dan Menteri itu mempunyai kewenangan atributif. Presiden tak bisa ambil alih itu. Jadi ruh pemusatan itu memang harus ada melalui pengembalian kewenangan ke pusat, baru kemudian didistribusikan ke daerah. Bila tidak, di situ pasti tidak bisa dijalankan investasinya,” jelasnya.

Fikri juga mengkritisi ketentuan batasan waktu pembuatan Peraturan Pelaksana (PP) dalam tenggat 30 hari (Pasal 173 RUU Omnibus Law). Padahal, katanya, materi-materi UU yang didelegasikan ke PP adalah materi yang sangat penting, menyangkut definisi misalnya. Muncul kekhawatiran atas waktu yang relatif singkat, bagaimana pemerintah bisa merumuskan muatan PP secara berkualitas. Padahal, ada sekitar 456 materi PP yang akan didelegasikan. Ditambah lagi track record pembuatan PP di Indonesia yang masih belum sepenuhnya baik. Ia mencontohkan salah satu PP turunan UU PP terkait spin off yang belum kunjung selesai sejak 2007 silam. “Jadi Pasal itu perlu dipertimbangkan kembali,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait