Begini Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia
Berita

Begini Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia

Perkawinan harus segera dibatalkan jika tercatat di KUA. Bila perkawinan terjadi di bawah tangan, maka akan batal demi hukum.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

“Ini menarik, permasalahan umat Islam di Indonesia masih menganggap pernikahan di bawah tangan itu sah walaupun tidak dicatat di KUA, walaupun tidak dicatat secara resmi. Walaupun pernikahan itu di bawah tangan, seharusnya UU Perkawinan tetap berlaku, tapi ‘kan tidak dicatatkan, bisa saja proses itu kembali dibatalkan karena di agama Islam dan UU Perkawinan pun melarang karena larangan perkawinan salah satunya hubungan darah.  Meskipun tidak tercatat di negara dan menikah secara Islam bagi pemahaman orang awam, itu tetap tidak sah dan batal demi hukum,” kata Wirdyaningsih kepada hukumonline, Rabu (3/7).

 

(Baca Juga: Pembentuk UU Diperintahkan ‘Rombak’ Batas Usia Perkawinan)

 

Widryaningsih menambahkan bahwa UU Perkawinan tidak menganut sanksi pidana. Konsuekuensi dari hal-hal yang dilarang di dalam UU Perkawinan adalah bersifat administratif. Sanksi bagi perkawinan sedarah adalah pembatalan perkawinan, sedangkan bagi petugas KUA yang melanggar aturan dalam UU Perkawinan dikenakan sanksi administratif.

 

Meski demikian, lanjutnya, jika para pihak yang terlibat di dalam proses perkawinan incest tersebut terbukti melakukan kesengajaan dengan memalsukan dokumen serta saksi, maka perbuatan tersebut bisa dibawa ke ranah pidana.

 

“Ada pengelabuan hukum terkait pidana, dalam kasus ini perlu dipastikan lagi. Tapi jika memang itu ada pemalsuan dokumen, saksi palsu, bisa dituntut memberikan keterangan palsu dan dalam hukum pidana itu bisa. Kalau dalam Islam itu bisa batal demi hukum. UU perkawinan tidak ada (pidana), untuk petugas KUA ada sanksi administrasi, kalau ada dugaan pemalsukan kembalinya ke pidana secara umum,” jelasnya.

 

Masih dikutip dalam artikel yang sama dari Klinik Hukumonline, konsekuensi dari perkawinan yang tidak dicatat ini, keabsahannya tidak diakui. Staf Ahli Menteri Agama, Tulus, dalam artikel Pencatatan Perkawinan Justru Lindungi Warga Negara menuturkan suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya jika tidak dicatatkan. Pencatatan itu untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum bagi status hukum suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran. Pencatatan ini harus memenuhi syarat dan prosedur dalam UU Perkawinan.

 

Selain itu, peraturan perundang-undangan lain yang mengatur larangan perkawinan sedarah adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia yang berjudul Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (hal. 61) menjelaskan antara lain bahwa apabila kita melihat kembali pada Pasal 30 KUH Perdata tentang larangan perkawinan, maka perkawinan yang dilarang adalah perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama dengan yang lain bertalian keluarga  dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah, atau karena perkawinan; dan dalam garis menyimpang, antara saudara laki dan saudara perempuan, sah atau tidak sah.

 

Hilman (hal. 65-66) juga menjelaskan bahwa menurut Hukum Islam, perkawinan yang dilarang (haram) dapat dibedakan antara yang dilarang untuk selama-lamanya dan untuk sementara waktu. Yang dilarang untuk selama-lamanya adalah perkawinan yang dilakukan karena pertalian darah, pertalian semenda, pertalian susan, dan sebab perzinahan. Perkawinan yang dilarang karena pertalian darah, karena perkawinan antara seorang pria dengan ibunya neneknya (terus ke atas), dengan anak wanitanya, cucu wanita (terus ke bawah), dengan saudara wanita, anak wanita dari saudara pria/wanita (terus ke bawah), perkawinan dengan bibi yaitu saudara wanita dari ibu/ayah, saudara dari nenek atau datuk (terus ke atas).

 

Akibat hukumnya, menurut Drs. Sudarsono, S.H., M.Si dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional (hal. 111), di dalam Pasal 90 KUH Perdata ditentukan bahwa pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan termuat dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33, boleh dituntut (dimintakan pembatalan) baik oleh suami istri itu sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan.

 

Tags:

Berita Terkait