Begini Pandangan Pakar Terkait Perluasan ‘Menghadap' dalam UU Jabatan Notaris
Utama

Begini Pandangan Pakar Terkait Perluasan ‘Menghadap' dalam UU Jabatan Notaris

PP INI selaku organisasi tunggal yang mewadahi notaris menyiapkan tiga altenatif penandatanganan akta otentik di masa pandemi Covid-19.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit

Kemudian economic confidence memerlukan legal confidence, sehingga Notaris dan PPAT sebagai T3P sangat diperlukan untuk mendukung sistem keautentikan secara elektronik, baik terhadap Identitas dan dokumen guna mencegah penipuan (fraud) dan pemalsuan dokumen (forgery), dan memudahkan akses ke public registry, serta sebagai muara untuk kelancaran perizinan demi Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business) terkait OSS.

Dan sesuai kode etik Jabatan Notaris di mana harus mengikuti ilmu pengetahuan, maka selayaknya notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum harus sadar TIK dan berperan sebagai T3P dalam ekonomi digital. Hal tersebut adalah keniscayaan untuk ketahanan hukum dan ekonomi nasional,” ujarnya.

Asisten Khusus Jaksa Agung, Narendra Jatna, menyatakan bahwa Notaris dapat mencontoh terobosan-terobosan dari aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman dalam konteks peradilan. Saat ini penyelenggaraan proses peradilan telah dapat dilakukan secara elektronik oleh Mahkamah Agung melalui implementasi e-court ditambah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2020, yang memberikan legalitas terhadap penyelenggaraan sidang melalui sarana telekonferensi selama masa pencegahan penyebaran Covid-19.

Namun dari sisi notaris, tentu yang dirasakan ada kekhawatiran terkait masalah yurisdiksi dan kekhawatiran apakah akta tersebut dapat diterima sebagai bukti otentik di Pengadilan.  Narendra menyarankan perlu dilakukan terobosan, misalkan untuk mengatasi terkait persoalan tafsiran menghadap menggunakan bantuan audio visual. Pemerintah dapat melakukan terobosan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM yang perlu dilakukan dengan pengaturan rincian teknis. 

“Kalau ada kekosongan hukum acara boleh diisi oleh Mahkamah Agung. Jadi norma ada walaupun tidak spesifik, dan di pengadilan ini diakui. Jadi menurut saya, logic norma yang ada di Perma bisa digunakan notaris. Rekaman digunakan sebagai bukti dan itu dikenal di UU ITE, kalau kita merujuk KUHAP jelas ketinggalan. Jadi buat saya adminsibilitas pengadilan dan hakim yang memutus, kalau ada yang bertentangan jangankan online, hadir fisik pun banyak dianggap tidak sah,” kata Narendra.

Dari sisi pidana, Guru Besar Hukum Pidana FHUI, Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa UUJN adalah salah satu UU yang tidak mengatur sanksi pidana. Namun dia menegaskan, meski UUJN tidak mengatur tentang sanksi pidana bukan berarti notaris tidak bisa terkena pidana. Faktanya banyak notaris terjerat pidana utamanya terkait dengan beberapa tindak pidana yang ada di dalam KUHP.

Lalu bagaimana dengan akta yang tidak dihadiri secara fisik atau berhadapan? Harkristuti menyebut bahwa tindakan tersebut tidak masuk dalam kategori pidana, namun disebut dengan akta di bawah tangan. Adapun konsekuensi dari tindakan tersebut adalah mendegradasi kredibilitas notaris jika pada akhirnya akta di bawah tangan tersebut menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Tags:

Berita Terkait