Begini Penjelasan MK Terkait Putusan Eksekusi Jaminan Fidusia
Utama

Begini Penjelasan MK Terkait Putusan Eksekusi Jaminan Fidusia

Putusan MK No.2/PUU-XIX/2021 hanya penegasan saja. Tidak ada perbedaan dengan Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Mahkamah menilai pemohon tidak memahami secara utuh substansi Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 mengenai kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan atas kekuasaan sendiri, tapi harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri, pada dasarnya telah memberi keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan (kreditur, red) dalam pelaksanaan eksekusi.

Menurut Mahkamah, pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanya sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik adanya wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Bila debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan (dengan mudah, red) oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri (yang menyerahkan secara sukarela, red).

Terkait pertimbangan untuk menghindari kesewenang-wenangan pelaksanaan eksekusi itu, tak lama setelah terbitnya Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menerangkan implementasi Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia terkait eksekusi jaminan fidusia ini praktiknya menimbulkan kesewenang-wenangan kreditur ketika menagih, menarik objek jaminan fidusia (benda bergerak) dengan dalih debitur cidera janji (wanprestasi).

Persoalannya, kata Enny, kapan waktu terjadinya cidera janji tersebut tidak ada penjelasan dalam Pasal 15 UU Jaminan Fidusia itu, apakah saat masih berlangsung angsuran atau jatuh tempo, atau pada saat kapan? Menurutnya, bagi MK cidera janji ini harus ada kejelasan kapan waktu terjadinya.

“Dalam pertimbangan putusan MK itu sudah jelas, bahwa (klausul, red) cidera janji harus dibuat (disepakati, red) para pihak. Kalau para pihak tidak ada kesepakatan, maka pelaksanaan eksekusi melalui putusan pengadilan sesuai dengan HIR dan RBg,” ujar Enny Nurbaningsih saat dihubungi Hukumonline, Kamis (16/1/2020) silam. (Baca Juga: MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Kreditur)

Dengan demikian, persoalan cidera janji dalam eksekusi jaminan fidusia tidak (serta merta, red) langsung diselesaikan melalui pengadilan. Namun, harus didahului kesepakatan para pihak untuk menentukan kapan terjadinya tuduhan cidera janji tersebut. Jika sudah ada kesepakatan para pihak, kreditur dapat langsung mengeksekusi melalui pengadilan. “Sebenarnya tujuan putusan ini untuk melindungi kepentingan para pihak baik debitur maupun kreditur,” kata Enny. 

Menurutnya, praktik tindakan perampasan objek jaminan fidusia secara paksa - seperti kendaraan bermotor sebagai wujud penerapan Pasal 15 UU Jaminan Fidusia - oleh debt collector sebagai perbuatan melawan hukum. “Tindakan perampasan itu tidak diperbolehkan. Jadi, dasar penarikan objek jaminan fidusia harus ada cidera janji, tapi cidera janji itu juga harus ada kesepakatan para pihak, tidak bisa sepihak untuk menghindari kesewenang-wenangan,” terangnya.

“Misalnya, jika para pihak sudah sepakat kapan waktu terjadinya cidera janji. Lalu salah satu pihak cidera janji yang sudah disepakati bersama, itu tetap saja debt collector tidak boleh langsung menarik (objek, red) barang yang diperjanjikan, harus melalui kesepakatan mereka dulu."

Tags:

Berita Terkait