Belajar Dari Dua Ratus Tahun Harvard Law School
Kolom

Belajar Dari Dua Ratus Tahun Harvard Law School

Law school sejatinya mengajarkan suatu cara berpikir (the way of thinking), bukan sekadar memperbincangkan materi kuliah.

Bacaan 8 Menit
Reza Fikri Febriansyah
Reza Fikri Febriansyah

Beberapa hari lalu, Penulis menyaksikan rekaman seremoni “HLS 200: 1817-2017” yakni perayaan dua Abad (Bicentennial) Harvard Law School (HLS)-salah satu fakultas hukum termasyhur di Amerika Serikat, bahkan juga di dunia. Acara ini dihadiri pula oleh sebagian besar Hakim Agung (Supreme Justice) Amerika Serikat yang beberapa di antaranya juga alumni HLS, termasuk John G. Roberts Jr. (Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, alumni HLS class of 1979) yang dalam sambutan John F. Manning (Dekan Harvard Law School) disebut sebagai ahli hukum spektakuler (spectacular lawyer) sekaligus hakim yang rendah hati, santun, senantiasa otentik, dan penuh perhatian (humility, modest, authentic, and careful Justice). Acara ini merefleksikan begitu banyak pelajaran berharga, tidak hanya bagi dunia hukum tetapi mungkin juga peradaban manusia.

Dalam acara tersebut terefleksikan bahwa kualitas lembaga pendidikan hukum formal (law school) senantiasa akan berbanding lurus dengan kualitas keadilan dan peradaban. Namun, untuk menjamin terwujudnya keadilan dan tingginya peradaban, tak cukup hanya soal kualitas law school, diperlukan pula berbagai pengalaman hidup (personal experiences) dari seorang hakim yang nantinya juga sangat menentukan kualitas pendapat hukum mereka dalam putusan pengadilan.

Keragaman latar belakang, pengalaman hidup, dan karier profesional para Supreme Justices menjadi pilar utama bagi sistem hukum Amerika Serikat tatkala memperbincangkan berbagai persoalan hukum, moral, dan keadilan. Hal ini tidaklah terlalu mengherankan karena sistem hukum Amerika Serikat sangat kental dipengaruhi model penalaran American Realism sebagai salah satu elemen dari mazhab Sociological Jurisprudence yang sangat mengandalkan urgensi implementasi serta dampak sosial dari putusan pengadilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum, moral, keadilan, dan kehidupan.

Seremoni acara diawali sambutan Richard J. Lazarus (profesor senior pada bidang studi hukum lingkungan di HLS) yang mengangkat soal refleksi kurun waktu usia 200 tahun HLS. Dengan penuh rasa haru dan bangga, Lazarus mengungkapkan bahwa beliau tidak pernah sedikit pun membayangkan bahwa Universitas Harvard sebagai salah satu eksperimen radikal Amerika Serikat pada awal berdirinya (12 Juni 1817) saat ini mampu memiliki hampir 60.000 alumni yang sekitar 2000 lebih di antaranya berasal dari 76 negara. Dalam kaitannya dengan Mahkamah Agung Amerika Serikat, Lazarus juga mengungkapkan bahwa HLS nyaris tak pernah absen dalam ‘menyumbangkan’ alumni terbaiknya pada setiap konfigurasi Hakim Agung Amerika Serikat yang selalu bermurah hati untuk memberikan kuliah di HLS pada waktu luang mereka.

Baca juga:

Drew Faust (President/Rektor Universitas Harvard) yang juga ahli ilmu sejarah selanjutnya juga menyampaikan sambutan yang mengangkat soal daya tahan (endurance) HLS menghadapi tantangan zaman. Menurut Faust, HLS selalu tumbuh dengan gagasan baru mengenai “apa itu hukum? (what the law could be?)”. Dalam semangat dan gagasan HLS, profesi hukum menurut Faust tidak dimaknai sebagai ‘pekerjaan tukang’ (craft), melainkan sebuah profesi yang bermakna luas dan terdidik secara mendalam (broadly and deeply educated profession).

Dengan mengutip narasi Joseph Story (mantan Hakim Agung Amerika Serikat), Faust mengemukakan bahwa ahli hukum yang sempurna adalah sosok manusia pembelajar yang harus senantiasa bersedia menyelidiki hati manusia, menjelajahi setiap emosi, hingga seni licik dari sifat kemunafikan. Para ahli hukum juga harus memahami agama, filsafat, sejarah, sastra, dan alam. Intinya, para ahli hukum senantiasa dituntut untuk memahami kemanusiaan apa adanya (know humanity as it is). Keutamaan seorang ahli hukum menurut Faust adalah menjadi manusia yang lebih bijaksana, lebih jujur, lebih pemaaf, dan yang paling menarik: memiliki sifat “lebih tidak tertarik terhadap sesuatu” (more disinterested) dibanding manusia awam.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait