Belum Prioritas, Isu HAM Didorong dalam Diskursus Capres-Cawapres
Berita

Belum Prioritas, Isu HAM Didorong dalam Diskursus Capres-Cawapres

Hak asasi manusia adalah komponen penting dari konsep negara hukum.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Haris mengulang kembali ingatan publik terkait janji-janji penegakan HAM Presiden Joko Widodo pada masa kampanye pilpres 2014 yang lalu. Namun, dalam pelaksanaanya hal ini hanya dipenuhi dengan undangan rutin kepada aktivis HAM setiap memperingati hari HAM sedunia yang jatuh pada setiap 10 Desember. Di masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terbit Perppu mengenai organisasi kemasyarakatan, yang ‘mempermudah’ Pemerintah mencabut status badan hukum ormas.

 

(Baca juga: Isu HAM Belum Prioritas, Tantangan Penyelesaiannya Makin Berat)

 

Haris menyayangkan narasi hak asasi manusia terus diulang-ulang. Memang, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak meratifikasi instrumen HAM dunia. Namun dari aspek peraturan perundang-undangan, masih banyak yang bertentangan dengan prinsip HAM. Belum lagi dilihat dari prakteknya. Secara institusional, kata Haris, langkah afirmatif yang diterapkan dengan memasukkan unsur daerah dan golongan dalam proses rekrutmen komisioner Komnas HAM misalnya menurut haris sedikit banyak menjadi satu penyebab minimnya sosok komisioner yang memiliki kompetensi memadai yang mengisi lembaga-lembaga tersebut.

 

Politisi Partai Demokrat, Rachlan Nasidik menyoroti ketentuan UU ITE yang mengatur tentang ujaran kebencian. Aparat telah terlalu jauh menerapkan ketentuan UU ITE dengan tuduhan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Rachlan berpendapat UU ITE sebenarnya ditujukan untuk melindungi keberadaan kelompok minoritas. “Itu adalah cara untuk mengancam kelompok yang mengancam kelompok minoritas yang dimaksudkan melakukan diskriminasi dengan cara memaksa atau menggunakan kekerasan,” ujar Rachlan.

 

Rachan juga mengkritik cara penguasa menangani isu-isu kebhinnekaan yang pada tahap selanjutnya menjadi batu sandungan bagi upaya integrasi nasional. Slogan-slogan kebhinnekaan seperti “saya Pancasila” yang menajdi narasi pemerintah secara tidak langsung mengafirmasi keterbelahan sosial dan menimbulkan kesan berbeda bagi kelompok yang berseberangan dengan rezim.

 

Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Surya Tjandra menyayangkan kondisi yang hari ini tengah berlangsung. Kompetisi electoral yang menyebabkan gesekan antara kubu-kubu pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden menurut Surya memberi ruang kepada “penumpang gelap” yang ingin memasukkan tujuan mereka ke dalam proses kontestasi pilpres. “Kelompok yang intoleran hari ini adalah yang memanfaatkan demokrasi hari ini. Mereka yang paling keras memanfaatkan demokrasi,” tegas Surya.

Tags:

Berita Terkait