Benarkah Pailit Harta Pribadi Berpengaruh pada Nikah dan Cerai? Begini Penjelasan Hukumnya
Utama

Benarkah Pailit Harta Pribadi Berpengaruh pada Nikah dan Cerai? Begini Penjelasan Hukumnya

Berkaitan dengan ada tidaknya perjanjian pemisahan harta.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

“Dalam konteks pranikah tanggung jawab kepemilikan, penguasaan serta pengurusan harta berada mutlak di tangan masing-masing calon mempelai,” ujarnya kepada hukumonline.

(Baca juga: Penyebab Minimnya Pencatatan Perjanjian Kawin).

Lain halnya jika status debitor pailit telah terikat dalam perkawinan. UU Perkawinan mengatur bahwa setiap perkawinan pasti menyebabkan adanya harta bersama kecuali jika terdapat perjanjian pemisahan harta. Perlu diketahui, terkait status dan pertanggungjawaban terhadap harta bersama telah diatur UU Perkawinan. Harta bersama ini bukan lahir dari perjanjian kawin, melainkan lahir karena Undang-Undang. Dengan adanya harta bersama, kepailitan suami istri dapat menyebabkan pailit terhadap pasangannya.

Ketentuan UU Perkawinan itu berkaitan erat dengan Pasal 23 UU Kepailitan. Debitor pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan  22 UU Kepailitan meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang menikah dalam persatuan harta. Kesimpulannya, kata Mustolih, tanpa adanya perjanjian pemisahan harta maka harta suami atau istri dianggap sebagai satu kesatuan harta bersama sehingga dapat menyebabkan harta pasangan harus menerima konsekuensi pailit.

Mustolih menambahkan, merujuk Paragraf 9 Penjelasan Umum UU Kepailitan, putusan pernyataan pailit memang dapat mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Akan tetapi, ketidakcakapan seorang debitor pailit hanya terbatas pada pengurusan harta sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga, dalam lapangan perkawinan tidak menjadi hambatan atau halangan untuk melangsungkan perkawinan jika alasan ‘tidak cakap hukum’ yang dijadikan dasar.

“Atau, dengan kata lain berbeda status hukumnya dengan mereka yang tidak cakap karena masih dalam pengampuan, belum mumayyiz atau karena faktor hilang akal berbeda dengan tidak cakap dalam pailit. Mengingat debitor pailit masih dalam koridor mahkum ‘alaih (mukallaf), yakni orang yang masih dapat melakukan tindakan-tindakan hukum,” jelasnya.

(Baca juga: Pandangan Ahli Soal Penarikan Guarantor Sebagai Termohon PKPU).

Pada akhirnya, kata Mustolih, stastus pailit atau muflis tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Tetapi status itu dapat dijadikan pertimbangan bagi calon mempelai untuk menerima, meneruskan pernikahan atau sebaliknya. Utamanya bagi calon mempelai laki-laki, karena menurut hukum, laki-laki punya kewajiban memberikan nafkah lahir batin, sandang, pangan dan papan kepada isterinya.

“Jadi, bukan berarti keterbatasan harta itu mengakibatkan seseorang tak boleh menikah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, nikahlah kalian meski hanya dengan mahar cincin dari besi,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait