Bentuk Kejahatan Kemanusiaan Rohingya Dilihat dari Berbagai Sisi Hukum
Berita

Bentuk Kejahatan Kemanusiaan Rohingya Dilihat dari Berbagai Sisi Hukum

Yang bisa menyelesaikan masalah adalah pemerintah Myanmar sendiri. Lalu ke tingkat ASEAN, kemudian ke tingkat PBB.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Para pengunjuk rasa membawa spanduk sambil berorasi soal pembantaian kaum muslim Rohingya di Myanmar.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk sambil berorasi soal pembantaian kaum muslim Rohingya di Myanmar.
Kekerasan struktural yang terjadi di Arakan di Myanmar Barat Laut yang dilakukan oleh militer dan polisi Myanmar pada Oktober dan November 2016 telah menewaskan 428 orang Rohingya, menangkap 440 orang, menghilangkan 120 orang, membakar dan merusak 1.780 rumah dan bangunan, dan melahirkan 35.000 pengungsi internal (IDPs) dari etnis minoritas Rohingya.

Heru Susetyo, Pakar HAM dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menjelaskan Myanmar secara struktural dan sistematis telah menyingkirkan etnis minoritas Rohingya dari sistem politik, hukum dan pemerintahan, hingga sosial, budaya dan ekonomi.

“Masalah hukum pidana nasional, hukum humaniter, dan hukum pengungsi. Jadi intinya masalah utama karena mereka tidak pernah diakui sebagai masyarakat yang berdaulat di Myanmar dan dikeluarkan di etnis yang sah sejak dahulu, itu pangkal perkaranya,” kata Heru.

Akan tetapi, kekerasan sudah berlangsung sejak tahun 60-an, namun tidak bersifat massif. Kemudian, secara perlahan etnis Rohingya mendapatkan penyiksaan berdasarkan etnis, ras, bahasa, agama, dan warna kulit yang terjadi setiap tahun. dengan pendekatan kekerasan yang bervariasi, yaitu fisik, psikis, verbal, seksual, sosial budaya, hingga kekerasan ekonomi. (Berita Foto: Aksi Solidaritas untuk Muslim Rohingya di Kedubes Myanmar)

Heru menjelaskan dari segi hukum internasional, Rohingya adalah stateless people- orang tanpa kewarganegaraan. Mereka seharusnya dilindungi oleh negara, namun negaranya tidak melindungi. Ketika etnis Rohingya mencari Tanah Air yang lain, tidak ada yang mengakui karena mereka sudah berabad-abad tinggal di Rohingya.

“Mereka tidak diakui oleh negaranya, mau ke Bangladesh, Bangladesh tidak mengakui, ke Myanmar mereka tidak mengakui,” tuturnya.

Bila dilihat dari hukum pidana internasional bisa disebut sebagai genosida secara fisik dan genosida sosial. “Ini sudah termasuk genosida karena mereka dibunuh atas perbedaan etnis dan dilakukan secara masif, kata Heru.

Kemudian genosida secara budaya. Menurut Heru, istilah Rohingya sebenarnya tidak boleh digunakan. Walaupun digunakan adalah Myanmar Muslim bukan Rohingya. Parahnya lagi budaya, pendidikan, dan bahasa mereka dinihilkan dan dianggap tidak ada. Sebelumnya eksis, bahkan ada yang pernah menjadi menteri di kabinet Myanmar, anggota parlemen, bahkan bahasa Rohingya dulu juga diperdengarkan di radio.

“Kejahatan pada kemanusian karena dilakukan secara struktural yang sifatnya menyeluruh, sistematis terencanakan dan menggunakan aparat negara,” jelasnya. (Baca Juga: Tim Kuasa Hukum Pengungsi Rohingya Ditolak Polisi)

Selanjutnya, hukum humaniter dengan bentuk internal konflik. Jadi, kata Heru, konflik bersenjata yang bersifat internal dan di sana yang dibunuh juga warga sipil yang tidak bersenjata. “Itu yang dilanggar adalah Konversi Genewa dan Protokol 1977 tentang keberlakuan konflik yang tidak berlaku internasional. Pembunuhan orang-orang yang tidak bersenjata, laki-laki atau perempuan atau orang-orang yang tidak ikut perang. Ini juga melanggar konvensi hak anak. Myanmar juga bagian dari konvensi hak anak, jadi pelanggarannya sudah massif sekali,” ungkapnya.

Selain itu, hukum pengungsian Internasional karena menghasilkan pengungsi. Mengusir dengan sewenang-wenang warga negaranya ke negara lain, sehingga tidak ada yang mau menerima akhirnya mereka menjadi manusia perahu sampai ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

“Kejahatan internasional yaitu genosida, orang pergi dari Myanmar karena khawatir akan disiksa,” ungkap Heru. (Baca Juga: Pembersihan Etnis Tak Dapat Dibenarkan)

Peran Pemerintah Indonesia
Heru menjelaskan kepentingan Indonesia memang tidak langsung karena Indonesia merupakan komunitas ASEAN dan solidaritas sesama muslim. Minimal, Indonesia bisa bertindak tegas dan melakukan di level ASEAN maupun di level PBB, supaya ada misi kemanusiaan yang sifatnya peace keeping force atau pasukan penjaga perdamaian di sana untuk menghentikan kekerasan.

“Juga sekaligus bisa ada pengadilan untuk mengadili penjahat kemanusiaan di Myanmar. Dan kalau pemerintah Myanmar tidak sanggup harus ada mekanisme dari PBB yang di ICC, namun memang menjadi sulit karena Myanmar belum menjadi pihak ICC di Den Haag, ini maslahanya,” ujarnya.

Sehingga, Indonesia bisa mendesak agar ada misi kemanusiaan dan membuka akses untuk memberikan bantuan obat-obatan dan makanan karena sekarang diblokir tidak bisa masuk dengan alasan yang sangat politis sekali. “Ini sangat mengganggu, jadi kita bisa membuat orang Rohingya punah secara perlahan dengan ditutupnya akses bantuan pangan dan obat- obatan, sehingga harus dibuka,” tuturnya.

“ASEAN juga harus mengirimkan fact finding atau team pencari fakta dan juga mengirimkan special reportner. Masalahnya sendiri sekarang kita tahu ASEAN itu mandul karena ASEAN karena kerjasama yang tidak ingin saling mengintervensi. Intinya yang bisa menyelesaiakan sebenarnya adalah pemerintah Myanmar sendiri,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait