Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda
Utama

Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda

Pengaturan penyelesaian konflik agraria dalam RUU Pertanahan hanya sebagai pelengkap (formalitas), bukan utama. RUU Pertanahan dinilai tidak melindungi dan menjamin rakyat, tapi lebih membuka peluang besar penguasaan tanah bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Keempat, Pasal 25 ayat (8) RUU Pertanahan dinilai akan melanggengkan impunitas terhadap korporasi yang dianggap sebagai pemegang hak menguasai lahan secara fisik melebihi luasan haknya. Komnas HAM mencatat dari 2,7 juta hektar lahan yang berkonflik karena konsesi (izin lahan), sebagian besar adalah tanah yang menjadi wilayah hidup masyarakat dan sebagian perusahaan itu diproses hukum oleh KPK.

 

Kelima, RUU Pertanahan dinilai melakukan pembiasan dan degradasi terhadap konsep pengaturan dan pengakuan masyarakat adat sebagaimana Pasal 18 UUD Tahun 1945 yang bersifat deklaratoir. Ini bisa dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) dan (4) RUU Pertanahan yang mengatur kriteria masyarakat adat yang diakui dan kewajiban pembentukan peraturan daerah.

 

Keenam, penerapan asas kepastian hukum yang tidak proporsionalitas oleh Lembaga Penjamin (Pasal 56 RUU Pertanahan). Sebab, proteksi hak kepemilikan (property rights) hanya sebatas yang memiliki sertifikat. Padahal secara faktual, tanah-tanah rakyat termasuk masyarakat adat banyak yang tidak memiliki sertifikat. Apabila telah terlanjur diterbitkan sertifikat oleh lembaga pertanahan (BPN) tanpa adanya persetujuan dan mekanisme peninjauan seperti aturan sebelumnya.

 

Ketujuh, Pasal 25 RUU pertanahan dinilai mengabaikan akses masyarakat terhadap lahan/milik yang memperlama jangka waktu penguasaan hak guna usaha bagi konsesi perusahaan dari 35 tahun, diperpanjang 35 tahun dan 20 tahun atau totalnya 90 tahun. Kemudian Pasal 12 ayat (4) RUU Pertanahan permisif (longgar) terhadap penguasaan individual yang luas (5 hektar) dan apabila memiliki lahan di berbagai tempat hanya dikenakan pajak progresif.

 

Kedelapan, kolonisasi negara melalui penghidupan kembali asas domain verklaring melalui pengaturan Hak Pengelolaan yang memberi kewenangan penuh kepada pemerintah untuk mengatur hubungan hukum dan ketentuannya diatur dengan Penetapan Pemerintah. Ketentuan ini ada dalam Pasal 1 (ayat) 7 jo Pasal 8 jo Pasal 101 RUU Pertanahan.

 

Kesembilan, memperluas jerat pidana terhadap rakyat dengan penerapan/ketentuan yang ambigu melalui Pasal 13 RUU Pertanahan dengan mengancam pidana bagi yang menguasai dan memanfaatkan hak atas tanah yang bertujuan spekulatif. “Pengertian tersebut tidak jelas,” kritik Sandra. Baca Juga: Sejumlah Catatan Kritis atas RUU Pertanahan

 

Hanya kamuflase

Sementara YLBHI mencatat sedikitnya ada 3 RUU yang ditujukan mendorong percepatan masuknya investasi di Indonesia, salah satunya RUU Pertanahan. Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary menilai secara umum RUU Pertanahan tidak melindungi rakyat. Dari pernyataan beberapa pejabat pemerintahan yang dikutip media, Rakhma yakin RUU ini memang ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investasi dan mengakomodir kepentingan perusahaan.

Tags:

Berita Terkait