Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda
Utama

Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda

Pengaturan penyelesaian konflik agraria dalam RUU Pertanahan hanya sebagai pelengkap (formalitas), bukan utama. RUU Pertanahan dinilai tidak melindungi dan menjamin rakyat, tapi lebih membuka peluang besar penguasaan tanah bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Klaim RUU Pertanahan sebagai pelengkap UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menurut Rakhma itu hanya kamuflase. “RUU Pertanahan justru mereduksi filosofi agraria sebagaimana amanat UU No.5 Tahun 1960. RUU ini menyamakan agraria dengan pertanahan,” kata Rakhma.

 

Rakhma berpendapat RUU Pertanahan membuka peluang besar bagi korporasi melalui bank tanah dan pengelolaan tanah. Tanah yang menjadi target bank tanah yakni tanah menganggur. Bank tanah dibentuk pemerintah berada di bawah Kementerian. Anggaran bank tanah berasal dari banyak sumber dan bisa didanai lewat utang.

 

Selain itu, RUU Pertanahan mengatur hak pengelolaan yang selama ini tidak dikenal dalam UU No.5 Tahun 1960. Hak pengelolaan ini diserahkan kepada perusahaan atau badan hukum. Bahkan setelah memiliki hak pengelolaan, perusahaan atau badan hukum tersebut bisa mendapat hak guna usaha (HGU) di atas tanah tersebut. Masa berlaku hak guna usaha juga diperpanjang maksimal 95 tahun.

 

Soal pengadilan pertanahan, Rakhma melihat Kementerian berfungsi sebagai pelaksana mediasi. Padahal, selama ini Kementerian merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik agraria. Rakhma yakin pengadilan pertanahan ini akan melemahkan hak rakyat terhadap tanahnya karena tidak memiliki bukti yuridis untuk dibuktikan di persidangan. Hukum acara yang digunakan dalam pengadilan pertanahan sama seperti peradilan perdata.

 

“Yang membedakan dengan pengadilan perdata yakni pengadilan pertanahan nanti ditangani hakim ad hoc,” kata dia.

 

Ketimbang pengadilan pertanahan, Rakhma mengusulkan penyelesaian konflik agraria dilakukan lewat Komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria. Komite ini sempat masuk dalam draft RUU Pertanahan, tapi sekarang dihapus. Mengenai Reforma Agraria, RUU Pertanahan tidak menjelaskan secara rinci karena hanya mengatur soal definisi, subyek, dan obyek. Kepemilikan tanah masyarakat hukum adat juga dilemahkan karena status masyarakat hukum adat ditetapkan oleh pemerintah.

 

Mengendalikan harga tanah

Terpisah, Ketua Panja RUU Pertanahan, Herman Khaeron, menyebut salah satu ketentuan yang diatur dalam RUU Pertanahan mengenai bank tanah yang diharapkan dapat mengendalikan harga tanah. Mengingat jumlah tanah yang terbatas dan penduduk semakin meningkat, negara harus melakukan intervensi dalam bentuk bank tanah.

Tags:

Berita Terkait