Beragam Catatan Koalisi Terhadap Paparan Pemerintah di Sidang UPR Keempat
Terbaru

Beragam Catatan Koalisi Terhadap Paparan Pemerintah di Sidang UPR Keempat

Dalam sidang UPR Keempat di Dewan HAM PBB pemerintah Indonesia dinilai tidak memberikan informasi yang utuh mengenai situasi HAM di Indonesia. Misalnya RUU KUHP, kekerasan di Papua, dan isu terkait orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender dan seks karateristik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Menkumham Yasonna H Laoly (tengah) saat sidang Universal Periodic Review (UPR) di Markas PBB, Jenewa Swiss. Foto: Humas Kemlu
Menkumham Yasonna H Laoly (tengah) saat sidang Universal Periodic Review (UPR) di Markas PBB, Jenewa Swiss. Foto: Humas Kemlu

Pembangunan HAM di Indonesia telah dikaji oleh berbagai negara anggota PBB dalam pemantauan berkala universal atau Universal Periodic Revies (UPR) Keempat yang berlangsung 9-11 November 2022 di Dewan HAM PBB, Jenewa, Swiss. Delegasi pemerintah Indonesia yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly telah menyampaikan capaian dan tantagan pemerintah Indonesia di bidang HAM.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelaporan UPR yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, ASEAN SOGIE Caucus, KontraS, KIKA, Koalisi FreeToBeMe (FTBM) Indonesia, SAFEnet, Transmen Indonesia menyimpulkan secara umum apa yang disampaikan pemerintah dalam forum tersebut berbeda dengan realita.

Manajer kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, menyebut dalam forum internasional itu pemerintah tidak memberikan informasi utuh mengenai situasi HAM di Indonesia. Salah satu contohnya adalah klaim bahwa pemerintah Indonesia melakukan perbaikan instrumen hukum melalui RUU KUHP, yang kenyataannya memiliki pasal-pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM.

Baca Juga:

Sejumlah pasal dalam RUU KUHP yang berpotensi melanggar HAM antara lain mengenai pencemaran nama baik, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, pasal penghinaan pemerintah, dan pasal makar. Nurina menyebut berbagai ketentuan tersebut selama ini digunakan untuk membungkam kritik terhadap kebijakan negara, serta merepresi pihak yang memiliki pandangan politik berbeda.

“Pasal-pasal itu dipertahankan dalam draft terbaru RUU KUHP. Padahal hak-hak tersebut dijamin dalam instrumen hukum internasional yang diratifikasi Indonesia dalam bentuk undang-undang,” kata Nurina dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/11/2022).

Klaim pelibatan masyarakat sipil juga tidak mencerminkan situasi sebenarnya mengenai serangan yang dialami pembela HAM dalam beberapa tahun terakhir. Nurina menjelaskan catatan Amnesty International selama periode 2019-2022 menunjukkan ada 328 kasus serangan fisik maupun digital terhadap masyarakat sipil dengan 834 korban.

Terkait isu Papua, Nurina mencatat pemerintah Indonesia menyampaikan sebagian besar kasus telah diselidiki dan pelakunya dihukum. Tapi faktanya tidak ada kasus yang berhasil diusut tuntas dan diadili dalam pengadilan yang independen. Begitu pula berulangnya pelanggaran terhadap masyarakat Papua. Khususnya hak atas berekspresi dan berkumpul secara damai, serta kebijakan pemerintah yang memperkuat pendekatan keamanan di Papua.

Tags:

Berita Terkait