Beragam Tantangan Eksekusi Perkara Lingkungan Hidup
Utama

Beragam Tantangan Eksekusi Perkara Lingkungan Hidup

Ketua Pengadilan Negeri (PN) berperan penting dalam pelaksanaan eksekusi perdata. Belum ada regulasi yang khusus mengatur pelaksanaan eksekusi dalam perkara lingkungan hidup.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Pengacara Publik LBH Banda Aceh Muhammad Qodrat Husni Putra (bawah) dalam Instagram Live Hukumonline bertema 'Problematik dan Tantangan Eksekusi Putusan Perkara Lingkungan Hidup di Indonesia', Selasa (25/10/2022).
Pengacara Publik LBH Banda Aceh Muhammad Qodrat Husni Putra (bawah) dalam Instagram Live Hukumonline bertema 'Problematik dan Tantangan Eksekusi Putusan Perkara Lingkungan Hidup di Indonesia', Selasa (25/10/2022).

Dikabulkannya gugatan oleh majelis hakim bukan berarti pihak penggugat bisa dengan mudah memperoleh apa yang menjadi tuntutannya. Harus ada proses lagi yang harus dilalui untuk melaksanakan putusan itu yakni eksekusi putusan. Pelaksanaan eksekusi bisa dilakukan relatif dengan mudah jika pihak sebagai termohon eksekusi melakukannya secara sukarela putusan pengadilan. Sebaliknya, menjadi persoalan yang tidak mudah jika pihak yang disasar tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan pengadilan.

Hal itu yang terjadi dalam perkara perdata antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT Kallista Alam dalam kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2012 silam. Pengacara Publik dan Pengabdi Bantuan Hukum YLBHI/LBH Banda Aceh, Muhammad Qodrat Husni Putra, mencatat walaupun KLHK memenangkan perkara dan sudah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2015, tapi sampai saat ini putusannya belum bisa dieksekusi.

Baca Juga:

PT Kallista Alam dihukum membayar ganti rugi materiil sebesar Rp114 miliar dan pemulihan lingkungan Rp251 miliar. Amar tersebut tercantum dalam putusan Mahkamah Agung No.651 K/pdt/2015. PT Kallista juga tidak boleh menanam di atas lahan yang terbakar untuk budidaya kelapa sawit. Selain ganti rugi dan pemulihan yang totalnya Rp366 miliar itu, pengadilan juga memerintahkan pemerintah kabupaten Meulaboh dan Nagan Raya untuk mengawasi pelaksanaan pemulihan lingkungan hidup.

Untuk menjamin pelaksanaan putusan itu, Qodar mencatat ada sita jaminan di atas tanah, bangunan, dan tanaman di atas HGU yang dikantongi PT Kallista Alam. Putusan itu juga menghukum PT Kallista Alam membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5 juta per hari atas keterlambatan menjalankan putusan. “Tapi sampai saat ini tidak ada satu amar putusan yang dapat dieksekusi,” kata Muhammad Qodrat Husni Putra dalam diskusi Instagram Live Hukumonline bertema “Problematik dan Tantangan Eksekusi Putusan Perkara Lingkungan Hidup di Indonesia”, Selasa (25/10/2022) lalu.

Qodar melihat proses permohonan eksekusi terhadap putusan itu seperti menelusuri jalan yang berliku. PT Kallista Alam melakukan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) terhadap putusan kasasi. Tapi upaya hukum tersebut sejatinya tidak berpengaruh terhadap putusan yang sudah inkracht. Tercatat tahun 2016, KLHK mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, tapi Ketua PN Meulaboh menerbitkan penetapan yang intinya menunda sementara eksekusi sampai ada putusan PK. Padahal sejatinya PK tidak bisa menjadi alasan untuk menunda proses eksekusi.

Setelah putusan PK terbit, KLHK kembali mengajukan permohonan eksekusi. Tapi PT Kallista Alam mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada PN Meulaboh dan dikabulkan sekaligus menunda eksekusi. “Padahal, perlindungan hukum itu tidak dikenal dalam hukum acara perdata,” ujar Qodar.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait