Beramai-ramai ‘Gugat’ Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Utama

Beramai-ramai ‘Gugat’ Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Karena Pasal 222 UU Pemilu membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga menghalangi hak warga negara mendapatkan banyak pilihan calon presiden. Lagipula dalam Pasal 6A UUD Tahun 1945 tidak menyebutkan syarat persentase untuk bisa mengusung pasangan calon presiden.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

Dalam perkara sebelumnya, MK memutuskan yang berhak mengajukan permohonan adalah partai politik bukan perseorangan warga negara. Untuk itu, Pemohon diharapkan dapat menjelaskan kedudukannya dalam perkara ini berpengaruh bagi ketentuan norma yang diujikan, sehingga Mahkamah dapat mengubah pendapatnya terhadap permasalahan yang diajukan dengan alasan yang kuat.

“Fungsi Mahkamah menjadikan UUD Tahun 1945 sebagai living constitution, sehingga Pemohon diharapkan dapat meyakinkan Mahkamah dengan menjelaskan berbagai aspek yang komprehensif agar MK dapat kemudian mengubah pendiriannya terhadap hal ini (kedudukan hukum, red),” kata Arief.

Dalam perkara terpisah, MK menggelar sidang perbaikan permohonan uji materil Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Selasa (25/1/2022) kemarin. Perkara yang diregistrasi Nomor 68/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Bustami Zainudin (Pemohon I/Anggota DPD Periode 2019–2024 dari Provinsi Lampung) dan Fachrul Razi (Pemohon II/Anggota DPD RI Periode 2019–2024 dari Provinsi Aceh).

Kuasa Hukum Para Pemohon, Refly Harun menyampaikan materi perbaikan terkait kedudukan hukum dan alasan permohonan di hadapan Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Manahan M.P. Sitompul dan Saldi Isra sebagai anggota. Pada permohonan perbaikan ini, kata Refly, para Pemohon menguraikan pendekatan teks, perbandingan, sosiologis, dan sejarah untuk menjabarkan persoalan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam perkara ini.

Para Pemohon juga menjabarkan beberapa negara yang menggunakan sistem presidensial tidak menggunakan ketentuan presidential threshold untuk pencalonan presidennya. Refly menerangkan untuk pendekatan politik, pihaknya menjelaskan kemungkinan calon presiden tunggal akibat adanya aturan presidential threshold ini. Sedangkan pendekatan sosiologis menunjukkan telah terjadi pembelahan di masyarakat yang telah terlihat sejak Pemilu 2019 yang didominasi oleh dua calon presiden saja.

“Sementara dari sisi sejarah, sepanjang informasi yang ada kami dapati tidak ada pembahasan mengenai presidential threshold sejak dilakukan amendemen/perubahan konstitusi dari 1999–2002. Tidak pernah ada singgungan tentang presidential threshold yang berkaitan dengan pencalonan presiden ini. Adapun ketentuan presidential threshold hanya untuk pemilihan legislatif,” jelas Refly.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 6A ayat (5) UUD Tahun 1945. Para Pemohon membuat kontra argumentasi antara beberapa Putusan MK terkait Pasal 222 UU Pemilu. Nyatanya, tidak benar ketentuan presidential threshold tersebut memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab, sistem yang diatur dalam konstitusi sudah sangat kuat dengan tidak adanya lembaga tertinggi negara yang bisa menekan presiden.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait