Berbagai Tantangan Pelaksanaan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Utama

Berbagai Tantangan Pelaksanaan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia

Seperti tingkat kepatuhan terhadap putusan arbitrase karena pihak yang kalah cenderung mengajukan gugatan ke pengadilan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua Kamar Pembinaan MA Prof Takdir Rahmadi, dalam Kuliah umum dengan topik Pandangan Mahkamah Agung terhadap Perkembangan Arbitrase dan Mediasi di Indonesia di kampus FH Universitas Padjadjaran Jatinangor, Jawa Barat, Rabu (31/5/2023). Foto: RES
Ketua Kamar Pembinaan MA Prof Takdir Rahmadi, dalam Kuliah umum dengan topik Pandangan Mahkamah Agung terhadap Perkembangan Arbitrase dan Mediasi di Indonesia di kampus FH Universitas Padjadjaran Jatinangor, Jawa Barat, Rabu (31/5/2023). Foto: RES

Sejatinya, pengadilan bukan satu-satunya tempat untuk menyelesaikan sebuah sengketa. Masyarakat membutuhkan mekanisme penyelesaian sengketa yang relatif cepat. Oleh karena itu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa kerap menjadi pilihan bagi para pihak untuk menuntaskan sengketa.

Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Prof Takdir Rahmadi, menilai pelaksanaan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Prof Takdir menjelaskan, pemerintah Indonesia sejak awal sudah mengadopsi konvensi internasional terkait penyelesaian sengketa sejak awal kemerdekaan. Misalnya, UU No.52 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal, ketentuan itu mengadopsi konvensi PBB tahun 1965.

Kemudian Keputusan Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981 tentang Mengesahkan ‘Convention On The Recognition And Enforcement of Foreign Arbitral Awards’, Yang Telah Ditandatangani di New York pada Tanggal 10 Juni 1958 dan Telah Mulai berlaku pada Tanggal 7 Juni 1959. Regulasi internasional lain yang patut diperhatikan antara lain The UNCITRAL Arbitration Rules tahun 1976 yang direvisi tahun 2013 dan terakhir tahun 2021.

Ketentuan ini mengatur mekanisme pelaksanaan putusan arbitrase di suatu negara peserta konvensi melalui pengadilan di negara peserta lain. Selanjutnya MA melahirkan Perma No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing yang sebagian besar telah masuk dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Hukumonline.com

Prof Takdir Rahmadi. Foto: RES

Kemudian terbit Perma No.14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Prof Takdir menjelaskan beleid itu mengatur pelaksanaan putusan arbitrase syariah, di mana pengadilan agama yang berwenang melakukan eksekusi. “Kalau arbitrase umum itu ditangani eksekusinya ada di pengadilan negeri,” katanya dalam Kuliah umum dengan topik ‘Pandangan Mahkamah Agung terhadap Perkembangan Arbitrase dan Mediasi di Indonesia’ di kampus FH Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Rabu (31/5/2023).

Baca juga:

Kendati telah ada berbagai aturan terkait arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang ada di Indonesia itu, ternyata pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi tantangan. Salah satunya tingkat kepatuhan terjadap putusan arbitrase. Prof Takdir melihat pihak yang kalah cenderung mengajukan gugatan ke pengadilan.

Tags:

Berita Terkait