Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic
Profil

Berbincang Seputar Seluk Beluk Perppu dengan Daniel Yusmic

Daniel Yusmic adalah satu dari sedikit akademisi yang telah melakukan kajian tentang Perppu. Ia berhasil mendata Perppu yang pernah dikeluarkan sejak merdeka hingga era Presiden Jokowi.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar/MYS
Bacaan 2 Menit
Daniel Yusmic PF,  dosen FH Unika Atmajaya Jakarta, yang melakukan kajian tentang Perppu. Foto: MYS
Daniel Yusmic PF, dosen FH Unika Atmajaya Jakarta, yang melakukan kajian tentang Perppu. Foto: MYS
Untuk memudahkan akses petugas pajak terhadap data wajib pajak yang tersimpan di jaringan perbankan, pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2017. Perppu ini diikuti peraturan pelaksana berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan perubahannya.

Dalam konsiderans Perppu itu disebutkan ada ‘kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera memberikan akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk memperoleh dan menerima informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan’. Demikianlah lahirnya suatu Perppu, memang harus berpijak pada kegentingan yang memaksa. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan ‘Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang’.

Perppu yang dikeluarkan Presiden Jokowi itu tak pelak memantik perdebatan. Sebenarnya, Perppu juga dikeluarkan pada masa presiden-presiden sebelumnya, dengan alasan dan sebab yang beragam. Daniel Yusmic P. Foekh, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta, telah melakukan kajian serius tentang penerbitan Perppu di Indonesia. Hasil kajiannya mengantarkan pria kelahiran 15 Desember 1964 itu meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia enam tahun silam.

Dalam perbincangan dengan jurnalis Hukumonline, yang berlangsung santai di ruang kerjanya di kampus Unika Atmajaya, beberapa waktu lalu, Daniel menceritakan pandangan-pandangannya mengenai Perppu dalam perspektif hukum tata negara Indonesia. Berikut petikannya:

Ada kesan Pemerintah begitu mudah mengeluarkan Perppu dengan pertimbangan kegentingan yang memaksa. Bagaimana pendapat Anda?
Bahasa UUD 1945 kan ‘menetapkan Perppu’. Kalau ditanya apakah gampang dikeluarkan? Mari lihat angka. Kurang lebih tiga tahun memerintah, Presiden Jokowi mengeluarkan 3 Perppu. Bandingkan, Presiden SBY  mengeluarkan 16 Perppu. Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun ‘hanya’ mengeluarkan 8 Perppu. Jadi, kalau ada yang mengatakan Presiden Jokowi begitu mudah mengeluarkan Perppu, sebenarnya tidak juga. Baru ada tiga. Ada yang bilang lima. Sebenarnya dua perppu tentang Pilkada dan perubahan UU Pemda, ditetapkan presiden sebelumnya.

(Daniel Yusmic menunjukkan daftar Perppu yang telah dikeluarkan sejak era Soekarno. Selama memimpin Indonesia Soekarno menerbitkan 143, Penjabat Presiden Juanda 24, Penjabat Presiden Mr Assat 6, Soeharto 8, BJ Habibie 3, Abdurrahman Wahid 3, Megawati 4, dan Susilo Bambang Yudhoyono 16. Total Perppu yang pernah dikeluarkan hingga era Joko Widodo adalah 210).

Berdasarkan kajian Anda, apa sebenarnya kriteria ‘kegentingan yang memaksa’ yang menjadi dasar penerbitan Perppu?
Saya memahami ‘kegentingan yang memaksa’ dari teks dan konteks. Kalau kita cermati,  UUD 1945 itu kan didesain BPUPKI. Waktu itu ada panitia kecil yang merumuskan, diketuai Soepomo. Masa kerja panitia kecil kurang lebih hanya tiga hari. Jadi kita bisa mengerti UUD 1945 itu tidak sempurna. Kenapa? Karena hanya tiga hari, timnya juga tim kecil. Memang sebelumnya Soepomo pernah bersama Ahmad Soebardjo dan A.A.Maramis, membentuk UUD untuk Republik Indonesia tahun 1942. Karena itu waktu Soepomo dipercaya sebagai ketua panitia kecil, Soepomo tidak terlalu mengalami kesulitan. Dia sudah punya gambaran tentang UUD untuk Republik Indonesia yang disusun bersama Soebarjo dan Maramis. Mereka sudah sempat persiapkan. Salah satu jenis peraturan yang disebut dengan Perppu itu sebetulnya sudah ada meski dengan nama yang tidak sama persis. Pada waktu Soepomo dipercayakan membentuk konstitusi RIS, dia tidak menggunakan nomenklatur Perppu, melainkan ‘undang-undang darurat’, yang dikenal dengan emergency law

Soepomo menggunakan istilah ‘undang-undang darurat’ karena itu memang kelaziman yang dipakai oleh negara-negara di dunia sampai sekarang. Di situ memang syaratnya jelas harus dalam keadaan darurat. Kalau dulu kan dia menggunakan terminologi ‘kegentingan yang memaksa’. Saya cermati lahirnya perppu di tahap awal tidak semua dikatakan karena ‘ada kegentingan memaksa’. Ada juga yang menggunakan ‘keadaan mendesak’. Macam-macam istilahnya.

Soepomo sendiri sudah mengakui ada “kesalahannya”. Karena itu dia tidak lagi menggunakan perppu. Dia kemudian menggunakan sebutan ‘undang-undang darurat’. Jadi konstitusi RIS 1949, UUD Sementara  1950 menggunakan (istilah) ‘undang-undang darurat’, bukan Perppu. Artinya Soepomo sendiri sudah mengakui bahwa yang lebih tepat itu adalah undang-undang darurat, bukan Perppu. Itu penamaan yang diberikan oleh Soepomo. Sebenarnya itu sama (maksudnya). Karena itu sebenarnya menurut saya, harusnya acuan kegentingan memaksa itu adalah darurat. Jadi tidak bisa lahir undang-undang darurat kalau tidak ada darurat.

Masalahnya, konstitusi RIS hanya berlaku delapan bulan, karena kita menghendaki UUD yang baru. Pada waktu itu dari RIS kembali lagi kepada Kesatuan dengan UUDS 1950. Sebagian besar materi UUDS 1950 datang dari konstitusi RIS. Di UUDS 1950 istilah ‘undang-undang darurat’ tidak mengalami perubahan. Dari konstitusi RIS ke UUDS 1950 itu tetap menggunakan ‘undang-undang darurat’. Masalahnya ketika Konstituante tidak berhak untuk menghasilkan UUD yang baru, pada waktu itu Soekarno kemudian mengeluarkan dekrit, yang antara lain (isinya) kembali kepada UUD 1945. Artinya, acuan bernegara kita memakai sebutan Perppu, bukan lagi ‘undang-undang darurat’.  

Kriteria yang digunakan tentang kegentingan memaksa itu apakah bebas ditafsirkan oleh Presiden?
Bernegara pada zaman dulu dan sekarang, kita tak bisa menyamakan kesadaran berpikir dan bernegara yang ideal seperti sekarang. Konteksnya beda. Dalam disertasi saya memaknai ‘keadaan darurat negara’ itu baru tertata setelah Pemilu 1971. Sebelumnya negara dalam keadaan darurat sebetulnya. Paling tidak darurat dalam pengertian suprastruktur politik. Karena MPR, DPR masih bersifat sementara, makanya disebut DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), lalu ada DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Ini menunjukkan situasi negara dalam pengertian darurat. Kondisi objektif bangsa.

(Baca juga: DPR Pertanyakan ‘Ihwal Kegentingan Memaksa’ Terbitnya Perppu No. 1/2017)

Kalau kita mau lihat rangkaian kondisi negara dalam keadaan darurat, itu ada SK Presiden Soekarno. Pengertian ‘kegentingan memaksa’ harus dilihat dari kacamata hukum tatanegara dalam keadaan normal dan hukum tatanegara dalam keadaan darurat. Secara teori, hukum tatanegara darurat itu ada dua: subjektif dan objektif. Kalau bicara tentang kegentingan memaksa, memang kita menganut hukum tatanegara darurat subjektif. Artinya, sangat subjektivitas Presiden, apakah sebagai kepala pemerintah atau kepala negara untuk menyatakan genting atau tidak. Dalam disertasi saya, yang dimaksudkan keadaan negara darurat itu berlangsung sampai dengan Pemilu 1971, dan baru mulai menata kehidupan ketatanegaraan yang normal dari perspektif suprastruktur politik setelah MPR, DPR terbentuk. Dan itu MPR, DPR, yang legitimate. Sebelumnya itu MPR, DPR bersifat sementara. Kalau kita lihat mulai dari pertama bernegara tahun 1945 sampai dengan 1971 nggak ada lembaga negara resmi (berdasarkan UUD 1945) yang dipilih langsung oleh rakyat. Presiden pun dipilih secara aklamasi. Tidak oleh MPR.

Ratusan Perppu sudah dikeluarkan. Berdasarkan kajian Anda pernahkah Perppu ditolak DPR? Mengapa?
Pernah. Misalnya pada zaman Pak Habibie. Presiden Habibie mengeluarkan tiga Perppu. Perppu pertama ditolak, kedua juga ditolak, lalu  yang lucunya mengeluarkan Perppu ketiga yang mencabut Perppu kedua. Teori yang dipakai Mensesneg saat itu adalah peraturan hanya bisa dibatalkan dengan peraturan yang setingkat. Dulu hirarki Perppu sama Undang-Undang itu setara. Perppu bisa dicabut dengan Perppu. Itu logika berpikirnya. Karena ditolak, dicabut dengan Perppu lagi. Tapi saya tidak setuju Perppu dan Undang-Undang disejajarkan, apalagi di bawah Undang-Undang. Karena Perppu itu lahir dalam keadaan darurat, sehingga pandangan saya, Perppu dibolehkan melanggar konstitusi.

(Baca juga: Perppu Akses Informasi Pajak Potensial ‘Tabrak’ Sejumlah UU).

Menurut saya harus ada teori klasifikasi dua bentuk peraturan. Peraturan yang lahir dalam keadaan normal dan yang lahir dalam keadaan darurat. Dalam keadaan normal, hierarki peraturan boleh menggunakan teorinya Hans Kelsen. Karena itu UU dan Perppu tidak bisa disamakan. Karena UU lahir atas persetujuan bersama, dibahas bersama, kemudian setelah itu disahkan Presiden, lalu diundangkan. Perppu ini ditetapkan sepihak, langsung diundangkan dan berlaku.

Hukum tatanegara darurat objektif menyatakan keadaan darurat itu perlu diproklamirkan. Kalau subjektif nggak perlu, tiba-tiba saja dikeluarkan Perppu. Misalnya Presiden Amerika, diberi kewenangan besar dalam keadaan darurat. Dia bisa menyimpangi semua undang-undang. Semua produk Kongres dilangkahinya. Dia harus memproklamirkan keadaan darurat, baru dia mengambil tindakan. Tapi pada saat yang sama, pernyataan keadaan darurat dia harus dinilai Hakim Federal. Apakah keadaan darurat itu memenuhi syarat atau tidak. Kalau tidak, putusan MA menyatakan tidak memenuhi syarat dan semua tindakan harus dihentikan.

Di kita, coba baca UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan -- kini UU No. 12 Tahun 2011. Kalau saya baca, spiritnya menguatkan kewenangan subjektif Presiden, mematikan fungsi pengawasan DPR dengan diatur di sana. DPR hanya boleh menerima atau menolak. Perppu kewenangan subjektif Presiden.

Dalam disertasi saya, ada kewenangan subjektif Presiden, tetapi ada kewajiban institusi DPR untuk mengawasi. Saya bisa mengerti, (draft) UUD 1945 hanya tiga hari dibuat, gimana kita mengharapkan aturan yang ideal dengan konteks sekarang dari situ? Tidak bisa. Ahli Tata Negara dulu masih sedikit. Karena kita menganut hukum tatanegara darurat subjektif, DPR tidak berdaya juga untuk menilai kegentingan yang memaksa inkonstitusional atau tidak.

Sebenarnya apa sih yang menjadi dasar kewenangan diberikan kepada Presiden untuk menyatakan keadaan darurat?
Indikator keadaan darurat itu adalah kepentingan negara yang utama. Ada asas salus populi suprema lex. Itu yang menjadi dasar kewenangan itu diberikan kepada Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan. Diartikan secara harfiah kepentingan umum mengalahkan undang-undang. Kepentingan umum itu adalah kepentingan negara, kepentingan paling utama dari seluruh kepentingan. Bisa saja kepentingan umum tapi lingkup provinsi, kabupaten atau kota. Tapi kepentingan umum dalam arti negara keseluruhan, antara lain menyangkut keamanan dan keselamatan negara. Tidak bisa sembarangan digunakan. Cakupannya bisa terkait ekonomi, keamanan, dan teroris.

(Baca juga: Syarat-Syarat Penetapan Perppu oleh Presiden)

Apa yang membuat Anda tertarik mengkaji soal Perppu?
Sewaktu S3 di UI tahun 2005, semangat saya soal bagaimana hubungan antara DPR dengan Presiden sesudah amandemen UUD 1945. Setelah kuliah sekitar dua tahun, Prof. Erman Rajagukguk mengatakan agar kami jangan fanatik terhadap topik, karena suatu disertasi itu adalah intellectual exercise. Kalau fanatik dengan topik Anda bikinnya skripsi, kualitas Anda masih itu. Yang penting manageable, layak, itu menarik, kamu ambil topik itu. Perkataan Prof. Erman ‘mengganggu’ dan memotivasi pikiran saya untuk mau mendalami Perppu, dan akhirnya saya ambil. Setelah saya teliti, ternyata ada 207 Perppu dari masa Presiden Soekarno hingga era Presiden SBY. Bahkan ternyata yang mengeluarkan Perppu bukan hanya presiden, melainkan juga penjabat presiden. Situasi waktu itu siapa saja dimungkinkan mengeluarkan kebijakan khusus untuk kepentingan negara. Dulu Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden dibolehkan. Tapi setelah kita bernegara mulai baik, nggak boleh ada dua matahari.

Apa rekomendasi Anda untuk ke depannya soal Perppu?
Nah, pertanyaan bagus. Kita harus mendesain suprastruktur politik dalam penataan kehidupan bernegara, yang menurut saya harus kita pikirkan sekarang bagaimana kita menatanya dalam dua perspektif: keadaan hukum tatanegara normal dan hukum tatanegara darurat. Kalau dalam keadaan hukum tatanegara normal, saya kira tinggal ditata kembali yang sudah ada. Mengenai hukum tatanegara darurat  perlu dipikirkan tersendiri. Pertama harus mengacu pada konstitusi. Ada dua pasal dalam konstitusi kita yang mengaturnya: Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 tentang keadaan bahaya, dan Pasal 22 tentang kegentingan memaksa yang melahirkan Perppu.

Pendiri negara, dalam hal ini Soepomo, sudah memiliki pemahaman tentang keadaan darurat dari awal. Tapi dalam praktek karena ditafsirkan oleh penyelenggara negara bahkan secara senaja atau tidak, makna kedua pasal itu dipisahkan seolah dua hal yang berbeda kriterianya. Disertasi saya menyatukan itu dalam satu kriteria. Sampai Prof. Jimly tantang saya, kalau bisa buktikan kalau Perppu itu hanya bisa dalam keadaan darurat, buku saya tentang Hukum Tata Negara Darurat akan saya revisi pakai teorimu. Saya berkeyakinan, sekarang ini DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, karena itu Presiden tidak boleh melangkahi kewenangan DPR membentuk undang-undang kalau tidak keadaan darurat. Tidak bisa kegentingan memaksa itu kita anggap hak konstitusional dan subjektivitas Presiden lagi, sudah sempurnalah kewenangan itu, sangat absolut. Tidak  bisa menurut saya, kewenangan itu sudah diserahkan ke DPR.

Kegentingan yang memaksa yang tadi saya ceritakan cukup panjang, Seopomo sudah meralat nomenklatur undang-undang darurat. Karena itu Perppu sama dengan undang-undang darurat.  Dalam konteks saya, hukum tatanegara darurat itu ada dua: keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa. Sekarang, kita ini betul-betul hukum tatanegara darurat subjektif, hakim pun nggak bisa menilai pernyataan keadaan darurat.

Ke depannya, saya rekomendasikan kewenangan menilai pernyataan kegentingan yang memaksa sebaiknya diberikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusan MK, yang terkait Perppu No. 8 Tahun 2009, MK menyatakan kegentingan yang memaksa adalah hak subjektif Presiden. MK menutup kewenangan  DPR. MK ini hanya menilai undang-undang, tidak memiliki kewenangan menilai konstitusi, meskipun dia berwenang menafsir kesesuaian undang-undang terhadap konstitusi. Jadi, perlu ditata dalam UUD 1945 bahwa MK memiliki kewenangan menilai ‘kegentingan yang memaksa’ atau ‘keadaan darurat’. Harus amandemen UUD 1945 dan dinyatakan di situ kewenangan tambahan MK ini.

Bagaimana dengan konsep menguji konstitusionalitas Perppu ke MK?
Tidak tepat. Saya menolak itu. Fungsi Perppu, kalau saya sudah memahami Perppu ini sebagai undang-undang darurat, itu agar secepatnya mengembalikan keadaan darurat dalam keadaan normal. Karena itu biarlah kegentingan memaksanya yang dinilai, bukan Perppunya. Sekarang Presiden mau mengembalikan keadaan normal, tiba-tiba dibatalkan dasar hukumnya. Apa dasarnya lagi mengambil tindakan?

Faktanya MK juga selalu menolak menguji Perppu. Dari 10 Perppu yang diuji tidak satupun diterima. Tetapi memang ada satu syarat lagi. Undang-undang darurat itu harus ada pembatasan masa waktunya. Saya membayangkan, misalnya di Brazil, kalau Presiden keluarkan Perppu, dalam lima hari DPR-nya harus bersidang, lalu menentukan berapa lama berlakunya. Di Indonesia, DPR hanya bisa bilang setuju atau tidak setuju.

Konvensi ketatanegaraan di dunia, keadaan darurat itu tiga bulan, lalu boleh diperpanjang enam bulan. Setiap diperpanjang harus dengan persetujuan parlemen. Tapi saya juga tidak setuju DPR yang menilai, karena bisa pragmatis juga secara politik. Kalau dia berseberangan, dia kritisi. Kalau tidak berseberangan, dia dukung. Tanpa pembahasan. Dalam rangka check and balances, biarlah kekuasaan kehakiman yang menilai. Menurut saya, idealnya ke MK.

Perppu yang ada sejak Soekarno hingga Jokowi lebih longgar kriterianya?
Justru putusan MK semakin melonggarkan karena menyatakan hak subjektif Presiden. SBY membuat beberapa Perppu dengan merujuk putusan MK itu. Masalahnya lagi sekarang begini, ketika SBY keluarkan Perppu, kenapa Jokowi yang harus bertanggung jawab? Karena tidak ada batas waktunya, Perppu baru dinilai DPR menunggu masa sidang berikutnya.

Ralat:
Sehubungan berita ini, ada ralat tentang jumlah perppu yang pernah diterbitkan sejak era Soekarno hingga era Presiden Joko Widodo. Dalam tubuh tulisan tertera jumlah totalnya 210. Seharusnya berjumlah 213. Kesalahan itu terjadi karena dalam tubuh berita tertulis Perppu yang diterbitkan pada era Presiden SBY berjumlah 16. Seharusnya berjumlah 19 Perppu.
Tags:

Berita Terkait