Berharap Majelis Hakim Pengadilan Seperti Majelis Arbitrase
Terbaru

Berharap Majelis Hakim Pengadilan Seperti Majelis Arbitrase

Usulan untuk penegakan hukum di pengadilan yang makin dekat dengan kemanfaatan dan keadilan. Mencontoh arbiter yang tidak selalu yuris.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hakim
Ilustrasi hakim

Widodo Dwi Putro, Dosen Filsafat Hukum Universitas Mataram mengatakan majelis hakim sebaiknya tidak hanya berisi sarjana hukum. Pendekatan ini bisa mencontoh efektivitas majelis arbitrase. “Lebih baik untuk kasus spesifik, saya kira satu dari tiga majelis hakim tidak harus sarjana hukum. Misalnya, akan beda kalau hakimnya juga ahli kelautan saat mendengar keterangan ahli kelautan,” kata dia kepada Hukumonline, Kamis (16/6/2022).

Mantan Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia ini membandingkan dengan solusi yang disediakan mekanisme arbitrase. Selama ini arbitrase kerap disebut sebagai “peradilan swasta”. Sebutan itu karena para pihak bersengkata memilih sendiri arbiter yang memutus perkara mereka. Arbiter pun tidak harus sarjana hukum. Namun, arbiter wajib menguasai bidang yang menjadi objek sengketa.

Syarat itu setidaknya bisa dilihat dalam model yang diakui arbitrase nasional Indonesia. Tertulis dalam Pasal 12 ayat 1 huruf e UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 bahwa syarat kompetensi pengangkatan arbiter ialah memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

“Selama ini hakim juga mendengar ahli selain ahli hukum di persidangan. Tetapi waktunya ahli untuk menjelaskan paling satu atau dua jam. Waktunya sangat terbatas. Tentu maksud saya ini untuk majelis hakim kasus-kasus yang spesifik,” usul Widodo yang juga mengampu Metode Penelitian Hukum. Ia menilai ide ini semestinya bisa dipertimbangkan serius untuk meningkatkan kualitas pengadilan.

Widodo meyakini esensi penegakan hukum adalah mengupayakan keadilan. “Kita bisa mencontoh arbitrase yang lebih fleksibel ketika menghadapi kasus spesifik. Saya kira itu gambaran masa depan untuk pengadilan yang mendekatkan hukum dengan kemanfaatan dan keadilan,” katanya melalui sambungan telepon dari Norwegia.

Widodo menyebut praktik pengadilan yang mengakui keterangan ahli sebagai dasar pertimbangan hukum sebagai praktik baik pendekatan interdispliner. Penegakan hukum sudah sejak lama menyadari penggalian keadilan tidak sekadar utak-atik pasal. Terpenuhinya unsur pasal yang menjadi dalil harus dibuktikan dengan penilaian disiplin ilmu lain yang relevan. Oleh karena itu, mengintegrasikan lebih jauh pendekatan interdisipliner dalam hukum ke dalam komposisi majelis hakim harusnya sangat mungkin.

Herlambang Perdana Wiratraman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, menguatkan pendapat Widodo. Ia mengatakan advokat pun terbiasa menggunakan pendekatan interdisipliner saat berperkara. “Kedokteran forensik dalam perkara pidana misalnya, itu jelas ilmu kedokteran untuk membuktikan unsur pidana,” katanya saat dihubungi terpisah.

Kedua pakar ini sama-sama berpendapat bahwa pengembangan hukum secara teori dan praktik jangan sampai anti gagasan interdisipliner. “Kasus korupsi misalnya, terlalu dipersempit hanya masalah hukum pidana. Padahal akar masalahnya kompleks dan implikasinya juga kompleks. Pengadilan harus lebih dekat pada kemanfaatan,” kata Widodo.

Perlu dicatat bahwa arbitrase di dunia saat ini hanya terkait sengketa hak perdata terutama bisnis. Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase juga membatasi bahwa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Tags:

Berita Terkait