Berkembangnya Alasan-Alasan PHK dalam Praktik
Fokus

Berkembangnya Alasan-Alasan PHK dalam Praktik

Alasan dan jenis pemutusan hubungan kerja terus berkembang dalam praktek. Pandangan pengadilan dalam tiap perkara PHK juga tidak seragam.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit

 

Perkara lain yang cukup menarik adalah perkara antara karyawan vs manajemen Hotel Grand Menteng. Para karyawan yang didampingi LBH Jakarta menggugat perusahaan karena dianggap melakukan intimidasi atau tekanan psikis sehingga para karyawan mengundurkan diri. Hakim PHI Jakarta mengabulkan gugatan karyawan dengan menyatakan pengunduran diri karyawan tidak sah karena disertai ancaman. Pertimbangan hakim saat itu sangat sederhana. Para penggugat (karyawan, -red) adalah pekerja kelas menengah ke bawah. Di masa sulit seperti ini sangat tidak masuk akal kalau para pekerja mau mengundurkan diri secara sukarela, padahal tidak ada masalah yang berarti ketika penggugat bekerja di sana, begitu menurut hakim.

 

PHK Jenis Baru

Trend atau perkembangan ternyata juga menjangkit di perselisihan hubungan industrial. Untuk PHK misalnya. Selain yang sudah tegas diatur dalam undang-undang, alasan terjadinya PHK ternyata juga berkembang dalam praktik. Tentu saja harus dengan kesepakatan para pihak, yaitu buruh dan pengusaha, yang biasanya tertuang dalam Perjanjian kerja atau PKB.

 

Tengok pengalaman Dewi Anggraeni, Sekjen Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI) yang mendampingi beberapa pramugari yang di-PHK Garuda Indonesia karena tidak berhasil menurunkan berat badan. Untungnya, majelis hakim PHI Jakarta yang mengadili perkara ini menyatakan bahwa perusahaan telah membuat peraturan dan menjatuhkan sanksi secara sepihak sehingga PHK itu menjadi tidak sah.

 

Modus lain dari perkembangan PHK adalah tindakan pengusaha yang menyewakan perusahaannya, baik aset maupun buruhnya, kepada pengusaha lain. Dengan demikian, nasib buruh menjadi terkatung. Hal ini yang kini sedang diadvokasi oleh Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) terhadap buruh di Cikarang.  Ini adalah modus baru karena UU Ketenagakerjaan hanya mengenal PHK untuk perusahaan yang menggabungkan diri, melebur atau merubah statusnya. Eh, sekarang malah ada praktik menyewakan aset perusahaan dan buruhnya seperti ini? keluh Hermawanto, pengacara publik LBH Jakarta.

 

Yang agak mutakhir adalah kasus PHK karena pekerja mengikuti aliran agama tertentu. Hal itu yang dialami tiga orang karyawan yang dipecat badan pengelola sebuah masjid terkenal di Jakarta lantaran kedapatan mengikuti aliran Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Mushadeq. Dalam keputusan yang dibuat pada akhir Oktober 2007 itu, jelas seorang sumber hukumonline, ketiga karyawan ini disebutkan tidak berhak atas pesangon atau imbalan apapun. Patut dicatat bahwa UU Ketenagakerjaan jelas menyebutkan bahwa buruh atau pekerja tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif.

 

Jadi, dalam praktek, alasan untuk mem-PHK seseorang memang terus berkembang melampaui rumusan peraturan perundang-undangan.

 

Tags: