Berondongan Kritik Masyarakat Terhadap Pembahasan Revisi UU ITE
Berita

Berondongan Kritik Masyarakat Terhadap Pembahasan Revisi UU ITE

Kritik publik terhadap proses pembahasan Revisi UU ITE diantaranya adalah pembahasannya dilakukan secara tertutup dan substansi pembahasannya yang tidak komprehensif.

Oleh:
CR-20
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kementerian Komunikasi dan informatika bersama Komisi I DPR telah menyepakati Revisi UU ITE masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2016, dengan target pembahasan selesai pada bulan September 2016. Kritik publik terhadap proses pembahasan Revisi UU ITE diantaranya adalah pembahasannya dilakukan secara tertutup dan substansi pembahasannya yang tidak komprehensif.

“Pembahasan Revisi UU ITE terkesan seperti tergesa-gesa. Seharusnya tidak hanya menjadi kejar target produk legislasi dari Komisi I DPR. Pembahasan juga seharusnya tidak sebatas pada draft yang diajukan pemerintah, karena hal ini tidak merubah substansi yang bermasalah dari UU ITE,” ujar Asep Komarudin dari LBH Pers dalam konferensi pers yang digelar Kamis (18/8), di Jakarta.

Proses pembahasan Revisi UU ITE selama ini dilakukan secara tertutup. Masyarakat tidak bisa melakukan pemantauan. Sementara draft revisi yang diajukan pemerintah dan DIM yang dimiliki oleh parlemen, dinilai tidak memiliki perdebatan substantif. Koalisi Masyarakat Sipil mengkhawatirkan, tidak akan perubahan signifikan dalam Revisi UU ITE. 

“Karena proses pembahasannya tertutup, hasilnya tidak bisa memenuhi ekspektasi publik. Padahal dengan keterlibatan publik dalam proses pembahasannya, justru akan memberikan perspektif publik yang lebih berwarna untuk memperbaiki kelemahan UU ITE yang sebelumnya,” kata Asep. (Baca juga: Terbukti Langgar UU ITE, Sopir Taksi Divonis 1,5 Tahun)

Pembahasan Revisi hanya berfokus pada pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai pencemaran nama baik. Pasal ini sejak awal dinilai sudah bermasalah, karena sangat lentur dan multitafsir, dan implikasi di lapangan adalah pasal ini telah disalahgunakan. 

“Selama pasal karet pencemaran nama baik itu masih ada, selama itu pula potensi kriminalisasi terhadap warga pengguna internet akan terus terjadi. Faktanya, pasal ini banyak digunakan oleh pihak yang powerful untuk menjerat pihak yang powerless guna memfasilitasi lingkaran kekuasaan,” kata Direktur Eksekutif SatuDunia Firdaus Cahyadi.

Menurut data LBH Pers, yang disampaikan Asep Komarudin, sejak UU ITE disahkan pada tahun 2008, terdapat 186 kasus yang dilaporkan karena dianggap melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pada tahun 2016 saja, setidaknya ada 11 kasus per bulan. Pelapor yang menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE, banyak berasal dari kalangan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait