Pasal 16B RUU mengatur perluasan kewenangan intelkam untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu untuk mengamankan kepentingan nasional. Isnur menegaskan frasa “kepentingan nasional” dalam ketentuan itu tidak diatur secara jelas definisinya, sehingga memungkinkan Polri mengawasi setiap kegiatan warga negara yang menyuarakan kritik kepada pemerintah atau siapapun yang dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.”
Ketiga, RUU memberi kewenangan Polri untuk melakukan penyadapan. Menurut Isnur, kewenangan itu rentan disalahgunakan karena RUU mengatur kewenangan penyadapan itu harus didasarkan pada UU terkait penyadapan. Padahal sampai sekarang Indonesia belum punya suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan. Selain perluasan kewenangan, Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan. Kewenangan untuk melakukan penyadapan itu akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK.
“UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan,” ujar Isnur membandingkan.
Keempat, RUU Polri berpotensi membuat peran Polri menjadi lembaga superbody investigator. Sebab, Pasal 14 ayat (1) g mengatur Polri berwenang melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik lain yang ditetapkan oleh UU. Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup.
Pada tahap rekrutmen, Isnur mencatat Polri memiliki kewenangan memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf n RUU Polri itu berpotensi membuat KPK dalam mengangkat penyidik perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Polri.
“Hal ini membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena penyidiknya ditentukan oleh kepolisian,” lanjuynya.
Kelima, RUU juga memberi kewenangan Polri memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Isnur berpendapat inisiatif itu membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam tahun 1998. Diaturnya PAM Swakarsa dalam RUU Polri harus dievaluasi karena faktanya justru memunculkan potensi munculnya pelanggaran HAM dan membuka ruang “bisnis keamanan.”