Keenam, menambah usia pensiun menjadi salah satu aturan yang diubah RUU Polri menjadi 62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri. Isnur berpendapat memperpanjang usia pensiun ini urgensinya tidak jelas. Malah dikhawatirkan berdampak buruk terhadap proses regenerasi di internal Polri. Ketentuan ini tidak menyelesaikan masalah menumpuknya jumlah perwira tinggi dan menengah di internal Polri.
Ketujuh, RUU menambah kewenangan yang sifatnya tidak jelas, dan menimbulkan tumpang-tindih dengan lembaga lain. Misalnya, Pasal 14 ayat (2) Huruf (c) memberi kewenangan Polri menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city). Kewenangan ini sangat berlebihan karena membuat Polri malah mengurusi tata kelola kota. Sekaligus menunjukan rancangan smart city yang digulirkan pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan (sekuritisasi).
Delapan, penambahan kewenangan Polri dalam RUU itu berbanding terbalik dengan mekanisme pengawasan bagi institusi polri dan anggotanya. Tak ada satu pasal dalam RUU yang menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian dan Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan memberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran.
Isnur mencatat selama ini Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas, melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberi pertimbangan kepada Presiden dalam hal kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru kerap menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi yang melakukan pelanggaran, sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian.
“Jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional, akuntabel dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM maka sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian,” tegas Isnur.
Sembilan, proses pembahasan RUU Polri terburu-buru dan absen partisipasi publik. DPR secara tiba-tiba menginisiasi revisi UU Polri. Berdasarkan data resmi DPR, revisi UU Polri justru tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024. Semangat DPR RI dalam melakukan revisi ini berbanding terbalik dengan 20 tahun pengabaian DPR terhadap Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) atau 14 tahun pengabaian RUU Masyarakat Adat termasuk RUU KUHAP yang mangkrak.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi menilai bahwa nomenklatur tentang restorative justice perlu dimasukkan dalam revisi UU Polri sebagai salah satu kewenangan dalam proses penyelesaian persoalan pidana. Dia menjelaskan restorative justice adalah pendekatan untuk menyelesaikan konflik hukum dengan menggelar mediasi di antara korban dan terdakwa, dan kadang melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Polri, menurut dia, sudah melakukan hal itu, namun ini belum diatur dalam UU Polri.
"Padahal di lapangan prosedur ini sudah dijalankan. Selama ini yang digunakan hanya level Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021, sebagai dasar hukum pelaksanaan restorative justice," kata Aboe Bakar sebagaimana dikutip Antara.