Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?
Utama

Berubah Setelah Persetujuan Bersama, Nasib UU Cipta Kerja di Ujung Tanduk?

Presiden diminta menerbitkan Perppu pembatalan UU Cipta Kerja karena Pasal 72 UU No. 12/2011 hanya membolehkan perubahan teknis penulisan setelah persetujuan bersama. Jika tidak, MK seharusnya berani membatalkan UU Cipta Kerja ini karena dinilai melanggar prosedur pembentukan UU atau cacat formil.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 9 Menit

Dia menerangkan sepanjang menyangkut materi muatan, naskah UU Cipta Kerja itu sudah final setelah persetujuan bersama di sidang paripurna DPR. Setelah itu, mutlak tidak boleh lagi ada perubahan substansi (materi muatan) karena dalam waktu paling lambat 30 hari, meskipun Presiden tidak mengesahkan sebagamana ditentukan Pasal 20 ayat (5) UUD Tahun 1945, RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama itu sah menjadi UU.

“Setelah disahkan sebagai tanda persetujan bersama, materinya mutlak tidak boleh berubah lagi. Praktik di dunia, yang dianggap boleh berubah hanya koreksi atas clerical error atau spelling saja,” ujar Mantan Ketua MK yang pertama ini.  

Menurutnya, satu-satunya jalan menyelesaikan polemik UU Cipta Kerja yang berwenang menilai konstitusionalitas norma UU hanya di MK yang putusannya mengikat baik uji formil, seperti tentang proses pembentukannya maupun uji materinya. “Dalam buku-buku saya, saya selalu bedakan antara pengesahan di DPR bersifat materil dan pengesahan di Presiden bersifat administratif atau formil.”

Untuk itu, jika ada pihak-pihak yang ingin “menggugat” UU Cipta Kerja ke MK, kumpulkan semua bahan dan bukti yang bisa dipakai untuk membuktikan bahwa proses pembentukan UU ini cacat konstitusional (prosedural/formil, red). Dan kemudian dinyatakan proses pengesahannya sebagai UU tidak berlaku mengikat umum.

Sedangkan pengujian materil pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja dapat dilakukan secara terpisah dan pastinya membutuhkan waktu yang lebih lama. “Tapi, penilaian akhir ada pada kewenangan dan independensi para hakim konstitusi. Jadi, kita percayakan saja pada MK sebagai the judges know the law (ius curia novit).”

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Muhammad Nur Sholikin melihat adanya penghapusan materi UU Cipta Kerja oleh pemerintah seperti diakui Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas membuktikan proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak akuntabel dan tidak sah. Merujuk Pasal 72 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adanya perubahan berupa penghapusan atau penambahan materi setelah persetujuan bersama dalam rapat paripurna tidak dapat dibenarkan atau cacat formil.    

Pasal 72 UU No.12 Tahun 2011, memungkinkan perubahan hanya teknis penulisan sebelum ditandatangani (Presiden, red) dan diundangkan dalam lembaran negara.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait