BI Usul Kebijakan Bail-In Masuk RUU Perbankan
Utama

BI Usul Kebijakan Bail-In Masuk RUU Perbankan

Perbankan yang tertimpa persoalan harus mengobati dirinya sendiri. Kalau tidak mampu, bisa menggunakan bail-out atau dana negara.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan masuk daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015. Terkait penyusunan RUU ini, DPR telah melakukan serangkaian kunjungan ke sejumlah daerah untuk meminta masukan.

Bank Indonesia (BI) pun memberikan masukannya terhadap rencana revisi UU ini. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, salah satu masukannya adalah perlu ada kebijakan bail-in untuk mengantisipasi jika terjadi krisis yang menimpa sektor perbankan.

Bail-in merupakan kebijakan yang mewajibkan perbankan atau pemilik bank menyediakan dana untuk mengobati persoalan krisis yang tengah terjadi. Kewajiban ini bertujuan agar dampak sistemik dari krisis tersebut tidak merembet kepada bank-bank lain.

“Agar bank terutama jika ditutup dan berdampak sistemik memiliki cara untuk menolong dirinya sendiri,” kata Halim dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen di Jakarta, Selasa (24/3).

Penggunaan bail-in, kata Halim, merupakan salah satu pengaturan yang disepakati di dunia internasional, seperti G20 dan Komite Basel. “Dunia internasional sangat tidak setuju, tidak lagi menggunakan dana negara. Dulu ada bail-out, sekarang tidak dianjurkan lagi,” katanya.

Meski mengedepankan kebijakan bail-in, dalam RUU Perbankan juga masih bisa menggunakan bail-out. Namun, penggunaan bail-out tersebut hanya bisa dilakukan setelah kebijakan bail-in dilaksanakan oleh si pemilik bank. “Jika tidak cukup (dana yang disediakan pemilik bank, red), baru pakai uang negara (bail-out). Jadi kita harus ikuti itu,” katanya.

Pengamat Ekonomi Fuad Bawazier sepakat dengan usulan BI. Menurutnya, kebijakan bail-in ini telah dirumuskan dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP) pada saat dirinya masih menjabat Menteri Keuangan (Menkeu). Hal ini semata-mata untuk mengantisipasi terjadinya krisis yang dapat menimpa Indonesia.

“Sudah tinggal ditandatangani PP-nya oleh Pak Harto (Soeharto). Tapi kemudian atas tekanan dari IMF, juga ikut tertekan. Akhirnya terpaksa harus dicabut. Saya sudah berpikir itu tahun 1997 awal krisis,” kata Bawazier.

Menurutnya, sektor perbankan sangat dinamis sehingga pengaturan dalam RUU Perbankan ini jangan kaku. Pengaturan yang dinamis itu penting jika sewaktu-waktu menemukan deadlock. “Perbankan sangat dinamis. Open saja, tapi ada satu diputuskan di kabinet atau DPR. Kalau tidak, terjebak sendiri,” katanya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perbankan Gus Irawan Pasaribu mengatakan, pihaknya telah melakukan kunjungan ke dua daerah untuk meminta masukan dari masyarakat terkait penyusunan RUU ini. Kedua daerah tersebut adalah Makassar dan Surabaya. Permintaan masukan ini dilakukan dalam rangka menyusun RUU Perbankan.

“Meski draf RUU Perbankan sudah disiapkan periode lalu, akan tetap jadi referensi, karena di DPR tidak mengenal istilah carry over,” kata anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra ini.

Ada sejumlah substansi yang akan masuk pembahasan dalam RUU ini. Mulai dari kepemilikan asing, asas resiprokal, hingga penegasan tugas dan fungsi antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait dengan sektor perbankan. Menurutnya, penegasan tugas dan fungsi ini penting agar terjalin komunikasi yang baik antara kedua lembaga tersebut.

“Pengawasan bank di UU OJK, makroprudensial tetap di BI, tapi belum ditegaskan apa saja, supaya industri tidak bingung dan tidak harus lapor kedua-duanya,” tutup Gus Irawan.
Tags:

Berita Terkait