Biarkan Dosen ‘Menari': Nasib Profesi Advokat Pasca 13/12
Fokus

Biarkan Dosen ‘Menari': Nasib Profesi Advokat Pasca 13/12

Awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit'.

Oleh:
Amr/CR
Bacaan 2 Menit

Kata advokat, menurut Humphrey, identik dengan keanggotaan seseorang pada Organisasi Advokat. Praktis, meski seseorang telah mengantungi izin praktek dari pengadilan tinggi (SKPT) ataupun Menteri Kehakiman (SK Menkeh) tapi belum terdaftar sebagai anggota Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), maka yang bersangkutan belum bisa disebut sebagai Advokat. Begitu argumentasi Humphrey.

Pandangan demikianlah yang menurut Humprey tidak akan terpengaruh dengan vonis mati terhadap pasal 31 UU No.18/2003. Sekarang kira-kira ada seribu orang dari Jakarta yang mendaftarkan di KKAI. Ini pendaftar-pendaftar baru, 3/4 –nya dari AAI Jakarta. Artinya, semakin orang melihat begitu pentingnya masuk Organisasi Advokat untuk mendapat pengakuan sebagai advokat, jelasnya.

Pendapat bahwa Organisasi Advokat tidak akan terpengaruh oleh hapusnya sanksi pidana di dalam UU No.18/2003 disanggah oleh Hadi Herdiansyah, peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Mandulnya pasal 31 UU No.18/2003, menurut Hadi, akan membuat keanggotaan di Organisasi Advokat yang semula bersifat wajib (mandatory membership) menjadi sukarela (voluntary membership).

Mereka akan menjadi anggota Organisasi Advokat ketika mereka merasa ada manfaat yang akan didapat dari keanggotaaan tersebut. Berbeda dengan sebelum dicabutnya pasal 31 dimana setiap orang yang ingin berpraktek menjadi advokat, litigasi maupun non litigasi, wajib memiliki izin praktek yang dikeluarkan oleh Organisasi Advokat karena kalau tidak mereka akan dikenakan sanksi pidana yang diatur pasal 31, papar Hadi.

Dilema

Lalu, bagaimana pendapat calon advokat sendiri mengenai masalah ini? Johannes Sahetapy, konsultan hukum pada kantor hukum Soewito Suhardiman Eddymurthi Kardono, mengatakan ia akan tetap berusaha mendapatkan izin advokat kendati ancaman pidana kini tinggal sejarah. Baginya, sepak terjang konsultan hukum dalam perkembangannya tidak dapat dipisahkan dengan litigasi.

Hal senada juga dituturkan oleh Tri Janita, associate pada kantor hukum Maiyasyak Rahardjo and Partners. Di matanya, kartu advokat merupakan suatu kelengkapan profesionalitas dalam profesi ini. Tri yang lebih banyak bekerja di bidang non litigasi, mengaku belum pernah mendampingi klien secara langsung di pengadilan. Sejauh ini dia hanya mendampingi klien dalam tahap penyidikan.

Pandangan yang boleh disebut netral tentang lumpuhnya pasal 31 UU No.18/2003 datang dari Dorma H. Sinaga, Ketua Umum Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI). Di satu sisi, ia menganggap bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 menguntungkan bagi para aktivis pembela HAM/pengacara publik di tanah air. Tapi di sisi lain, ia juga cemas bahwa kekosongan sanksi pidana di dalam UU No.18/2003 akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya niat buruk.

Tags: