Birokrasi Patronasi dan Kasus Brigadir Yosua
Kolom

Birokrasi Patronasi dan Kasus Brigadir Yosua

Melihat betapa seriusnya persoalan ini, solusi-solusi normatif seperti perbaikan sistem rekruitmen dan promosi berdasarkan merit system hanya akan menjadi paper-tiger tanpa dibarengi komitmen politik yang serius.

Bacaan 4 Menit

Apabila seorang polisi ingin sukses dalam kariernya, dia dituntut untuk mampu memahami dan mempraktikkan tipe birokrasi ini. Tidak heran kita melihat setidaknya ada tiga puluh lima polisi yang rela “pasang badan” untuk sang patron yang bernama Ferdy Sambo. Dalam hal ini, Sambo yang merupakan jenderal polisi bintang dua termuda dengan posisi yang strategis dianggap sebagai patron yang potensial untuk kliennya. Sangat mungkin, para adik asuh ini sudah menjadi bagian jaringan patronasi sang abang, sehingga membuat kabur batas loyalitas kepada institusi dan individu.

Birokrasi patronasi ini menjadi sangat berbahaya ketika dipraktikkan oleh sebuah institusi yang memiliki kekuasaan yang luar biasa, utamanya dalam penegakan hukum. Patronasi dapat tumbuh subur karena kekuasaan penegakan hukum menjadi instrumen penting dalam pemeliharan “jaringan persaudaraan” (patronage network). Kekuasaan untuk melakukan upaya paksa tanpa pengawasan yang berarti terhadap individu berupa pemanggilan, penangkapan, penyitaan harta benda dan penahanan menjadi aset penting dalam pemeliharaan birokrasi macam ini. Lahir tendensi untuk menggunakan kekuasaan penegakan hukum sebagai “alat tukar” di dalam jaringan patronasi.

Hal ini disebabkan karena begitu mudahnya bagi seorang polisi untuk melakukan monetisasi dan utilitasi kekuasaan itu, yang hasilnya kemudian dipakai untuk membangun dan memelihara jaringan birokrasi patronasi. Di sini, hukum tertulis tidak lebih dipakai hanya sebagai alat untuk memelihara relasi kekuasaan antara sang patron dengan kliennya. Sebagai contoh, dalam birokrasi tipe ini, sang abang asuh dapat dengan mudah menempatkan sang adik asuh ke dalam posisi-posisi strategis yang sering disebut dengan jabatan “basah.” Akibatnya, jaringan patronasi ini membentuk apa yang dinamakan, meminjam istilah yang dilontarkan oleh Menkopolhukam, “mabes di dalam mabes.”

Peristiwa ini hanyalah sebuah simtom dari sebuah penyakit yang dilahirkan oleh birokrasi patronasi. Oleh karena itu, mengungkap peristiwa ini dengan terang-benderang saja tidak cukup. Publik sudah disuguhkan pertunjukan bagaimana seorang patron, atas nama institusi, dapat dengan mudahnya mengerakkan sejumlah klien untuk mempermainkan hukum dan merekayasa kasus. Loyalitas terhadap sang patron memegang derajat lebih tinggi daripada sumpah jabatannya. Publik juga ditunjukkan bagaimana tidak ada mekanisme internal yang dapat mencegah terjadinya peristiwa pembunuhan dan rekayasa kasus yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dan klien-kliennya.

Melihat betapa seriusnya persoalan ini, solusi-solusi normatif seperti perbaikan sistem rekruitmen dan promosi berdasarkan “merit system” hanya akan menjadi “paper-tiger” tanpa dibarengi komitmen politik yang serius. Ketika persoalannya kultur birokrasi, selain solusi normatif, perlu sebuah komitmen politik untuk secara serius dan berkesinambungan untuk melakukan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian Indonesia. Perlu sebuah keberanian untuk membatasi kekuasaan untuk bertindak subjektif secara ketat, sehingga jaringan birokrasi patronasi tidak dapat tumbuh subur di institusi kepolisian.

Mungkin para pemangku kebijakan di republik ini dapat belajar dari apa yang terjadi di Cook County, Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1980an. Pada masa itu itu, birokrasi patronasi melanda aparat penegak hukum di sana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai advokat. Saking frustasinya, Federal Bureau Investigation (FBI) melakukan langkah ekstrem: FBI menggelar operasi undercover selama tiga-setengah tahun bernama “operation greylord” dengan menanamkan agennya untuk berpura-pura menjadi penegak hukum yang korup untuk membongkar birokrasi patronasi dan korupsi penegakan hukum yang terjadi.

Hasilnya, 93 orang ditangkap dari pihak kepolisian, kejaksaan, hakim dan pengacara. Dua di antara mereka yang ditangkap bunuh diri karena malu. Sampai saat ini, operation greylord menjadi salah satu operasi tersukses yang pernah digelar oleh FBI. Akibatnya, reformasi birokrasi besar-besaran terjadi. Mudah-mudahan, bangsa ini tidak perlu melakukan strategi yang ekstrem seperti ini.

*)Aristo Pangaribuan, Dosen tetap Fakultas Hukum UI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait