BPHN: RUU Hukum Perdata Internasional Akan Perkuat Persaingan Global
Terbaru

BPHN: RUU Hukum Perdata Internasional Akan Perkuat Persaingan Global

RUU HPI sangat relevan dalam menjawab tantangan globalisasi dan jadi alat penting dalam membangun hubungan internasional yang lebih baik serta berkelanjutan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Widodo Ekatjahjana. Foto: Kemenkumham
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Widodo Ekatjahjana. Foto: Kemenkumham

Era globalisasi dan kemajuan teknologi membawa dampak pada semakin meningkatnya transaksi lintas negara dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan yang dapat memberikan kepastian hukum dan mengatur perkara yang melibatkan pihak dari berbagai negara. Pemerintah berusaha mengakomodir kebutuhan hukum tersebut dalam Rancangan UndangUndang Hukum Perdata Internasional (RUU HPI).

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Widodo Ekatjahjana berpendapat bahwa RUU HPI akan memperkuat posisi Indonesia dalam persaingan global. UU yang jelas dan komprehensif di bidang hukum perdata internasional akan menunjukkan komitmen tinggi dalam mewujudkan hubungan bisnis yang sehat dan meningkatkan kredibilitas kita di mata negara lain.

“Oleh karena itu, RUU HPI sangat relevan dalam menjawab tantangan globalisasi dan jadi alat penting dalam membangun hubungan internasional yang lebih baik serta berkelanjutan, terlebih dalam memperkuat posisi Indonesia dalam persaingan global,” kata Widodo dalam keterangannya yang diterima Hukumonline, Sabtu (1/4).

Baca juga:

Widodo menjelaskan Pengaturan Hukum Perdata Internasional (HPI) Indonesia saat ini masih bertumpu pada pengaturan warisan Hindia Belanda dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23) disingkat AB. Ketentuan ini bertujuan dalam melindungi aktivitas hukum warga negara Indonesia (WNI) yang bersentuhan dengan warga negara Asing WNA yaitu dalam Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 AB

Sebagai informasi, kata dia, Pasal 16 AB mengatur tentang status personal dan wewenang seseorang, yang mencakup peraturan mengenai hukum perorangan dan hukum kekeluargaan bagi status hukum WN. Dan, Pasal 17 AB mengatur mengenai benda bergerak maupun benda tidak bergerak harus dinilai menurut hukum dari negara atau tempat di mana benda itu terletak (lex rei sitae), terlepas dari pemiliknya.

Sedangkan Pasal 18 AB, lanjut Widodo, mengatur tentang yurisdiksi pengadilan yang menangani permasalahan hukum keperdataan tersebut “Dalam implementasinya saat ini, ketiga pasal tersebut sudah tidak lagi memadai. Mengingat selain karena merupakan peninggalan kolonial yang dibuat pada pertengahan abad-18, juga dikarenakan masih menggunakan pendekatan bahwa keberlakuan HPI hanya dibatasi pada wilayah keberlakuan (territorial),” tuturnya.

Perjalanan pembahasan RUU HPI ini sendiri, menurut Widodo, berjalan panjang dan mengalami pasang surut. Pada 1983, BPHN mulai menyusun Naskah Akademik (NA) dan Draft RUU HPI untuk kali pertama. Setelah sempat hilang dari peredaran, pembahasan NA kembali dilanjutkan hingga terakhir diselesaikan pada tahun 2020. “Dari NA versi tahun 2020, kemudian disusun RUU HPI pada 2021.

Tags:

Berita Terkait