Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen harus didasarkan pada prinsip manfaat, keadilan, harmonis, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum. Sejak 10 tahun lalu, pemerintah disarankan membentuk Kementerian Konsumen seperti di Malaysia dan merevisi UU Perlindungan Konsumen serta aturan lain yang terkait.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Perlindungan konsumen di Indonesia, menurut Retno masih jauh dari harapan. Hanya konsumen tertentu yang kuat ekonominya dan mendapat privilege (hak istimewa). Karena itu, banyak ditemui kasus pelanggaran hak konsumen seperti makanan mengandung formalin atau pengawet lain; makanan dan minuman menggunakan pewarna berbahaya; uang kembalian receh diganti permen yang secara hukum ini pelanggaran karena permen bukan alat tukar yang sah.

 

Lalu, kejahatan yang terjadi di dunia maya; masalah pembelian rumah melalui mekanisme KPR dimana konsumen dirugikan karena tanahnya fiktif; kualitas rumah rendah; dan sertifikat bermasalah. Ada juga kasus pemadaman listrik mendadak, bahkan dalam waktu lama. Kasus fenomenal yang disorot publik yakni kasus Prita Mulyasari. Baca Juga: Urgensi RUU Perlindungan Data Pribadi Masuk Prolegnas Prioritas 2020

 

Penyebab lemahnya perlindungan 

Menurutnya, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya telah mengatur hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, tapi pelaksanaannya belum optimal, sehingga banyak ditemukan pelanggaran. Salah satu sebab sering terjadinya pelanggaran hak konsumen di Indonesia karena rendahnya tanggung jawab pelaku usaha.

 

Dia menilai regulasi yang ada belum efektif dan saling tumpang tindih, seperti antara UU No.8 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) dan UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan. Ditambah lemahnya penegakan hukum; minimnya perhatian pemerintah terhadap perlindungan konsumen dan badan perlindungan konsumen; serta rendahnya daya kritis konsumen.

 

“Tanpa adanya political will dari pemerintah, model pengaturan yang efektif; penegakkan hukum; penguatan dan pemberdayaan konsumen; pendidikan; kesadaran konsumen sendiri untuk proaktif dan kritis, maka pelanggaran demi pelanggaran akan terus terjadi,” papar Retno yang tercatat sebagai Penasihat Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Perikatan yang digagas Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) ini.  

 

Retno mengusulkan pemerintah melakukan kajian dan reformasi (revisi) terhadap UU No.8 Tahun 1999 dan UU/peraturan lain yang terkait perlindungan konsumen. Mengkoordinasikan kebijakan antara lembaga seperti Kementerian Perdagangan, dengan BPOM. Kemudian mengefektifkan dan mengalokasikan anggaran untuk lembaga perlindungan konsumen seperti BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), dan YLPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Masyarakat).

 

Rumitnya masalah konsumen di Indonesia, Retno menyarankan pemerintah membentuk Kementerian Konsumen seperti di Malaysia. Lembaga ini nantinya membuat posisi konsumen sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Retno mencontohkan di Inggris, ada program tv di BBC berperan sebagai watchdog yang menayangkan nama-nama produsen yang merugikan konsumen. Ada juga lembaga nonprofit seperti TSI (Trading Standard Institute) yang mengawasi kegiatan bisnis. Lembaga ini memberi pelayanan gratis terhadap konsumen antara lain nasihat, konsultasi, dan penyelesaian sengketa.

Tags:

Berita Terkait