BUMN Harus Patuhi Larangan Klausula Baku
Utama

BUMN Harus Patuhi Larangan Klausula Baku

Perusahaan jasa keuangan harus tunduk pada UU Perlindungan Konsumen.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Upaya menghapuskan klausula baku tampaknya butuh perjuangan. Hingga kini, klausula baku masih dipakai di banyak tempat dan beragam jenis usaha atau jasa. Klausula menghindari tanggung jawab masih tercantum di sejumlah tempat perparkiran.

Ironisnya, klausula yang dilarang UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen itu dipakai juga oleh perusahaan plat merah, dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Firman T. Endripradja, memberi contoh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perusahaan plat merah ini pernah mendapat sorotan BPKN karena menerapkan klausula baku dalam Payment Point Online Bank (PPOB) atau biaya administrasi untuk pembayaran tagihan secara masuk online melalui bank. "Kami dari tahun 2007 menuntut cabut itu, tapi sampai sekarang belum dicabut," kata Firman.

Firman mengingatkan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen sudah melarang penggunaan klausula baku. Artinya, larangan itu sudah ada sejak 1999 silam. Pasal 18 dimaksud sudah menguraikan jenis-jenis klausula baku yang dilarang dalam setiap perjanjian atau dokumen. Seperti, menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen.

Selain itu, menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Lalu, mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa. Kemudian, menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

Terakhir, menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti. "Pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini terancam pidana paling lama lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp2 miliar," kata Firman.

Berkaitan dengan ruang lingkup berlakunya larangan klausua baku, Firman berpendapat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tunduk pada UU Perlindungan Konsumen. "OJK harus mengacu ke UU Perlindungan Konsumen dalam membuat surat edaran mengenai sanksi," kata Firman.

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sri Rahayu Widodo menyambut baik masukan yang diberikan oleh Firman. Surat edaran yang tengah digodok tersebut merupakan aturan pelaksana dari POJK No. 1/2013 tentang Perlindungan Konsumen. Ia menegaskan, surat edaran yang tengah digodok OJK akan mengacu sanksi. "Kami pasti mengacu ke UU Perlindungan Konsumen," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait