Buruh DKI Dorong Perda Pengupahan
Berita

Buruh DKI Dorong Perda Pengupahan

Untuk meminimalisasi polemik dalam penetapan upah minimum.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Buruh DKI Dorong Perda Pengupahan
Hukumonline

Sejumlah serikat pekerja yang tergabung dalam Forum Buruh (FB) DKI Jakarta menolak upah minimum provinsi (UMP) 2014 DKI Jakarta. Pasalnya, usulan pekerja atas besaran kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar Rp2,7 juta tidak diakomodasi dalam Dewan Pengupahan. Menurut anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta dari unsur serikat pekerja, Dedi Hartono, besaran KHL usulan pekerja berangkat dari hasil survei yang dilakukan sendiri Dewan Pengupahan.

KHL diolah dari survei menggunakan regresi. Hasilnya, angka yang mendekati KHL bagi pekerja lajang di DKI Jakarta sampai Desember 2014 sebesar Rp2,7 juta. Jika KHL itu kemudian digunakan untuk menetapkan UMP 2014 maka ditambah pertumbuhan ekonomi dan produktifitas besaran UMP Jakarta 2014 sekitar Rp3 jutaan. Sayangnya, metodologi regresi tidak digunakan dalam penetapan UMP 2013 DKI Jakarta, sehingga angka terakhir hanya Rp2,4 juta.

Dedi mengatakan FB DKI Jakarta akan meminta DPRD DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) yang isinya mengatur tentang mekanisme penetapan upah minimum menggunakan metodologi regresi. Jika payung hukumnya kuat, perjuangan mencapai besaran KHL yang mendekati kebutuhan riil pekerja bisa lebih kuat. Langkah itu juga untuk meminimalisasi polemik yang kerap terjadi dalam menetapkan upah minimum.

“Pemerintah sendiri yang membuat penetapan upah minimum selalu bergejolak. Dalam penetapan UMP Jakarta tahun lalu kami sepakat karena menggunakan metodologi regresi,” katanya usai jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Senin (11/11).

Selaras dengan itu Dedi menegaskan perjuangan serikat pekerja dalam menolak UMP DKI Jakarta 2014 mengarah pada pembenahan sistem penghitungan KHL untuk menetapkan UMP. Selain pemerintah daerah, Dedi mengatakan serikat pekerja akan mendorong pemerintah pusat membahas peraturan tentang pengupahan yang selama ini menjadi amanat UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan namun tak kunjung diterbitkan.

Alih-alih menerbitkan peraturan tentang pengupahan, Dedi melanjutkan, pemerintah malah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja, dan Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Baginya hal itu malah meperkeruh polemik di bidang pengupahan. Padahal, selama ini peraturan terkait pengupahan memunculkan banyak masalah. Misalnya, Permenakertrans No.13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL), ada ketentuan yang menimbulkan gejolak pengupahan.

Seperti komponen transportasi, kata Dedi, dalam Permenakertrans KHL terdiri dari transportasi dan lainnya. Baginya ketentuan itu membuka peluang untuk memasukan komponen lain yang berkaitan dengan kebutuhan transportasi pekerja. Namun, selama ini kebutuhan transportasi hanya dipatok dengan ongkos pulang pergi menggunakan angkutan umum atau Busway. Padahal, untuk mencapai lokasi kerja di kawasan industri, pekerja tidak hanya menggunakan angkutan umum tapi juga ojek. Sebab angkutan umum tidak menjangkau masuk ke kawasan industri.

Begitu pula dengan komponen sewa kamar. Mengacu Permenakertrans KHL, Dedi menjelaskan sewa kamar harus mampu memuat semua komponen KHL. Namun, selama ini dalam pembahasan di Dewan Pengupahan sewa kamar dikategorikan dengan sewa kos-kosan atau kontrakan kamar. “Pemerintah sendiri yang mengacaukan kebijakan Pengupahan, sistem itu harus dibenahi,” ujarnya.

Sebelumnya, Sekjen DPN Apindo, Suryadi Sasmita, mengatakan dalam memperjuangkan kesejahteraan, pekerja harus melihat kondisi yang ada. Misalnya, permintaan dan penawaran tenaga kerja. Ia mencontohkan ketika China kebanjiran investor, upah pekerja paling sedikit dua kali di atas upah minimum. Menurutnya, pengusaha berani melakukan hal itu karena kebutuhan akan tenaga kerja sangat tinggi.

Atas dasar itu Suryadi berharap agar pemerintah Indonesia mampu mengikuti jejak pemerintah China yang mampu mengundang banyak investor. Pasalnya, semakin banyak investor yang masuk maka penawaran upah kepada pekerja akan tinggi. Ia memantau kondisi itu sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti Semarang, Jawa Tengah, pengusaha berani mengupah pekerjanya di atas upah minimum karena membutuhkan banyak tenaga kerja. “Jadi investor harus diperbanyak untuk masuk ke Indonesia,” ucapnya.

Tags:

Berita Terkait