Butuh Kecermatan Harmonisasi Delik dalam RKUHP dengan UU Sektoral
Utama

Butuh Kecermatan Harmonisasi Delik dalam RKUHP dengan UU Sektoral

Agar penerapan delik perbuatan sejenis dalam RKUHP dan UU sektoral (di luar KUHP) tidak menimbulkan kekeliruan oleh aparat penegak hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Sementara itu, pengaturan delik dalam Pasal 10 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi menyebutkan, “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”. Begitu pula dalam Pasal 36 UU 44/2008 menyebutkan, “Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

Adanya dua delik pornografi dengan sanksi hukumannya berbeda potensi mengakibatkan adanya perbedaan penerapannya oleh aparat penegak hukum. Begitu pula implikasinya terhadap perlakuan proses beracara antar aparat penegak hukum. Karena itu, sangat penting mengharmonisasi pengaturan delik antara yang diatur dalam RKUHP dengan UU sektoral.

Pria yang juga menjabat Deputi Direktur Bidang Program pada Indonesia Judicial Research Society (IJRS) itu menyebutkan ada banyak delik dalam RKUHP yang perlu diharmonisasi dengan UU sektoral. Seperti delik penghinaan. Begitu pula delik penyebaran konten bermuatan pornografi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.

“Termasuk delik suap pasif yang diatur dalam RKUHP dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” bebernya.

Sistematisasi seluruh delik

Sementara Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menilai dalam perumusan RKUHP tak sekedar mengharmonisasi, tapi mensistemisasi keseluruhan delik yang ada di RKUHP dengan UU di luar KUHP (UU sektoral). Salah satu misi RKUHP mengadaptasi dan mengharmonisasi semua peraturan hukum pidana di Indonesia. Hal tersebut berkelindan dengan makna sistem kodifikasi yang tak sekedar membukukan ketentuan pidana dalam satu kitab, namun termasuk mensistematisasi mulai pembagian bab, kualifikasi deliknya, dan sistem pemidanaan secara keseluruhan.

Dia menunjuk adanya bab tindak pidana khusus, seperti penerapan delik tindak pidana korupsi. Menurutnya, dalam Pasal 624 RKUHP menyebutkan, Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan dalam Bab tentang Tindak pidana khusus dalam UU ini dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum berdasarkan tugas dan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang masing-masing”.

Sementara dalam Pasal 3 ayat (1) RKUHP menyebutkan “Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali peraturan perundang-undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku atau pembantu”.

Terhadap penanganan perkara korupsi ini, kata dia, bakal terdapat pertentangan antara asas lex specialis dengan lex priori (aturannya bersifat pilihan). Tapi lain ceritanya dengan rumusan norma dalam Pasal 125 ayat (2) RKUHP yang menyebutkan, “Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali Undang-Undang menentukan lain”.

“Kalau saya (jadi) pengacara saya pilih RKUHP karena sanksinya lebih ringan. Jadi kalau pilih mana, transaksional lagi ujungnya, karena mana yang dipilih. Normanya berbeda mesti unsur deliknya sama. Jadi ini ada masalah, sehingga harus ada harmonisasi delik-delik itu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait