Butuh Komitmen Kuat Pembentuk UU untuk Pengesahan RUU PKS
Terbaru

Butuh Komitmen Kuat Pembentuk UU untuk Pengesahan RUU PKS

Silang pandangan dan perbedaan perspektif dalam pembahasan RUU PKS diharapkan dapat segera teratasi melalui jalur dialog intensif.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'RUU PKS: Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi', Rabu (28/7/2021) kemarin. Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam webinar bertajuk 'RUU PKS: Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi', Rabu (28/7/2021) kemarin. Foto: RFQ

Upaya mewujudkan aturan yang bersifat khusus dalam penanganan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak terus diperjuangkan sejumlah pihak. Karena itu, butuh kemauan yang kuat dari pembentuk UU (pemerintah dan DPR) agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan dan menjadi hukum positif.

“Perjuangan merealisasikan UU Penghapusan Kekerasan Seksual saat ini berada di pundak dan menjadi tanggung jawab para legislator seluruh partai yang ada di parlemen,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat dalam webinar bertajuk “RUU PKS: Mewujudkan Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi”, Rabu (28/7/2021) kemarin.

Lestari melanjutkan lahirnya UU PKS nantinya menjadi satu dari sekian cara negara memberi tempat layak bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kemerdekaan yang paripurna. Semua anggota DPR dengan sarana politik bisa mengatasi berbagai hambatan dan menghilangkan sekat golongan dalam membangun political will yang kuat mewujudkan UU PKS di tengah realita maraknya kekerasan seksual secara digital.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya menilai perkembangan pembahasan RUU PKS terjadi benturan ideologi dan cara pandang dari sejumlah pihak. Dalam pembahasan masih ada yang mempermasalahkan terminologi dan aspek sosial budaya di beberapa pasal draf RUU PKS. Tak hanya pandangan antar fraksi di DPR, tapi juga kalangan di luar DPR. Tapi, perbedaan pandangan itu dilandasi alasan keinginan tetap memuliakan kalangan perempuan dan anak.

Dia berharap silang pandangan dengan perbedaan perspektif dalam pembahasan RUU PKS dapat segera teratasi melalui jalur dialog intensif di tengah meningkatnya sekitar 300 persen aksi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. “Mudah-mudahan pada 18 Agustus 2021, Baleg bisa mempresentasikan naskah RUU PKS yang telah disusun dan UU PKS bisa menjadi ‘hadiah’ bagi bangsa ini pada peringatan Hari Ibu tahun ini,” ujar anggota Komisi XI DPR itu.

Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Endah Triastuti mengatakan dalam proses mewujudkan RUU PKS menjadi UU tak dipungkiri adanya gerakan yang menolak secara masif. Gerakan tersebut ditopang dengan membentuk opini di media digital. Termasuk gerakan sejumlah institusi yang gencar menyuarakan penolakan RUU PKS. (Baca Juga: Komnas HAM Minta RUU PKS Segera Disahkan)

Perempuan yang juga pemerhati isu gender itu menilai, media digital dengan berbagai proses sosial secara tak langsung membentuk cara pandang banyak orang. Alhasil, gerakan penolakan tersebut menjadi kontraproduktif terhadap berbagai upaya dalam pengesahan RUU PKS hingga saat ini. Meski demikian, upaya mewujudkan UU PKS menjadi hukum positif menjadi gerakan bersama demi perlindungan bagi kalangan perempuan dan anak dari kekerasan seksual.

Tags:

Berita Terkait