Butuh Komitmen Kuat Pembentuk UU untuk Pengesahan RUU PKS
Terbaru

Butuh Komitmen Kuat Pembentuk UU untuk Pengesahan RUU PKS

Silang pandangan dan perbedaan perspektif dalam pembahasan RUU PKS diharapkan dapat segera teratasi melalui jalur dialog intensif.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Anggota Majelis Musyawarah Jaringan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), Nur Rofiah berpendapat, negara berkewajiban memberi perlindungan sistemik terhadap warga negaranya. Mulai tahap perlindungan, pencegahan, penghukuman, hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku. Semestinya, kata dia, perlu ada kehati-hatian dan asas kejelasan rumusan norma agar menutup pintu multitafsir aparat penegak hukum serta penyalahgunaan dalam implementasi UU PKS nantinya.

Dia yakin anggota dewan di parlemen mampu mewujudkan keinginan orang banyak, khususnya kalangan perempuan dan anak atas UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual. “Khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural),” kata Nur Rofiah.

Sementara Hakim Ringgi Pengadilan Tinggi (PT) Bali Ihat Subihat menyoroti soal kata “kekerasan”. Menurutnya, kekerasan merupakan tindakan sepihak dengan pemaksaan. Upaya kriminalisasi terhadap rumusan delik yang jelas dalam definisi RUU PKS memudahkan hakim merumuskan fakta persidangan. Sebab, kerapkali terjadi kasus kekerasan seksual, tapi dianggap tidak dilakukan dengan kekerasan. Alhasil, pelaku tak dapat dipidana lantaran bukan perbuatan melawan hukum.

Baginya, kondisi kekinian, sejumlah fakta persidangan perlu diidentifikasi secara benar. Seperti ketidaksetaraan status sosial para pihak yang berperkara. Kemudian, adanya diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban serta relasi kuasa yang menyebabkan korban ataupun saksi tidak berdaya.

Pengurus Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Sekar Jepara, Ana Khomsanah mengatakan dalam mendampingi korban kekerasan seksual di daerahnya seringi mengalami kendala karena keterbatasan jangkauan hukum dari UU yang ada. Selain itu, aparat di lapangan hanya menangani kasus kekerasan seksual sekedar memenuhi legal formal semata tanpa mampu menuntaskan penyelesaian kasus.

“Situasi ini mengharuskan percepatan pembahasan hingga pengesahan RUU PKS menjadi UU agar para korban kekerasan seksual mendapat hak perlindungan rasa aman sebagai warga negara dari aksi kejahatan kekerasan seksual. Perlu ada komitmen yang sama di DPR bersama pemerintah,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait