Butuh Penanganan Khusus untuk Kasus Anak
Utama

Butuh Penanganan Khusus untuk Kasus Anak

Semua pihak harus memahami kondisi psikologis anak-anak.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Surat terakhir yang ditulis PT saat diperlihatkan oleh Seto Mulyadi (kanan) dan M Ikhsan (kiri). Foto: Sgp
Surat terakhir yang ditulis PT saat diperlihatkan oleh Seto Mulyadi (kanan) dan M Ikhsan (kiri). Foto: Sgp

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat dalam kurun waktu setahun ke belakang, banyak kasus tindak kekerasan yang menimpa anak-anak di berbagai daerah di Indonesia. Banyak juga kasus lain yang menempatkan anak sebagai korban.

Kadiv Advokasi Hukum dan HAM KontraS, Sinung Karto mencontohkan awal bulan ini terdapat satu korban anak remaja putri di Aceh yang diduga tewas bunuh diri karena depresi. Awalnya, anak di bawah umur berinisial PT itu ditangkap oleh Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariah karena dianggap menjual diri.

Berdasarkan surat terakhir yang ditulis PT, ketika itu dia sedang menonton acara musik bersama temannya. Dalam surat itu dia meminta maaf kepada orang tuanya karena telah memalukan keluarga. PT pun memutuskan untuk pergi dari rumah untuk hidup mandiri.

Selain itu Sinung mengkritik keras berita yang ditulis media lokal di Aceh yang menyebut PT sebagai pelacur yang ditangkap WH. Menurut Sinung hal itu menambah beban psikologis bagi PT sehingga akhirnya memutuskan gantung diri di kamarnya. “Itu menambah beban PT,” kata Sinung kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Kamis (13/9).

Pada kesempatan sama, pemerhati anak, Seto Mulyadi, menyebutkan dalam penanganan kasus anak, ada kalanya terdapat pihak yang tidak mampu memahami kondisi anak. Baik itu dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.

Dalam dua bulan terakhir, pria yang akrab disapa kak Seto itu mengaku mendapat 15 laporan dari remaja putra dan putri. Sebagian dari mereka ada yang berencana kabur dari rumah karena tidak dipahami oleh keluarganya dan sebagian lagi berniat bunuh diri.

Cara Dewasa
Sedangkan Ketua Satgas Perlindungan Anak (Satgas PA) dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), M Ihsan, mencermati berbagai proses hukum yang dilakukan untuk anak yang dinilai melakukan pelanggaran. Dari pantauannya, Ihsan mengatakan ada seorang anak yang tidak mau bersekolah setelah dijemput oleh aparat kepolisian. Padahal setelah diproses, si anak dinyatakan tidak bersalah. Menurut Ihsan, anak tersebut merasa malu oleh lingkungan dan hal serupa dialami oleh PT.

Oleh karenanya Ihsan mengimbau ke semua pihak, mulai dari orang tua, aparat penegak hukum, pemerintah daerah dan lainnya agar tidak menggunakan cara intervensi kepada orang dewasa untuk diterapkan kepada anak-anak. Menurutnya, kemampuan anak untuk menghadapi kondisi lingkungan, tidak seperti orang dewasa. “Kalau ada pelanggaran yang dilakukan anak, tolong dilakukan dengan perspektif anak. Jangan dengan cara represif, (misalnya,-red) menjemput langsung dan menjebloskan ke tahanan,” ujarnya.

Khusus untuk kasus PT, Ihsan mengatakan akan melakukan berbagai upaya, salah satunya berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Ihsan juga akan menyurati pemerintah daerah di Aceh untuk meminta keterangan soal penanganan yang dilakukan pemerintah setempat dalam kasus yang melibatkan anak-anak. Ihsan mengingatkan, dalam UU Perlindungan Anak, identitas anak yang melakukan pelanggaran tidak boleh diungkap. Jika anak itu diproses secara hukum, maka harus bersifat tertutup.

Sementara, Ketua Pendidikan dan Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengingatkan, sekalipun Aceh memiliki otonomi khusus namun harus tunduk pada konstitusi. Oleh karena itu pemerintah daerah Aceh wajib menegakkan HAM. Sejak lama Komnas Perempuan khawatir terhadap perkembangan pemerintahan di Aceh. Pasalnya, terdapat banyak Qanun atau peraturan daerah yang fokus pada persoalan moralistik.

Sejalan dengan itu, penegakan aturan atas berbagai Qanun itu berdasarkan pada praduga-praduga, sehingga besar kemungkinan terjadi salah tangkap. Akibatnya, orang yang bersangkutan merasa sangat bersalah dan putus asa. Atas dasar itu, Andy mendesak agar pemerintah daerah Aceh mengevaluasi berbagai Qanun yang telah diterbitkan itu.

Komnas Perempuan mencatat, banyak kasus salah tangkap terjadi di Aceh. Misalnya dianggap sebagai pekerja seks atau karena busana yang dikenakan tidak sesuai aturan. Selain kasus PT, Andy mengingatkan terdapat kasus anak-anak lainnya di Aceh, misalnya penangkapan terhadap anak komunitas punk. Sayangnya, aparat terkait kebingungan dan tidak melakukan penanganan sesuai dengan perspektif anak.

“Kebingungan itu dijawab dengan proses penegakan hukum tunggal yang moralistik dan menetapkan seolah tak ada ruang untuk berkomunikasi antara anak-anak dengan orang tua atau penyelenggara hukumnya,” tutur Andy.

Aturan Diskriminatif
Komnas Perempuan menyoroti terdapat peraturan perundang-undangan di berbagai daerah yang bersifat diskriminatif. Setidaknya terdapat 182 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, salah satu daerah yang menerapkan itu adalah Aceh. Andy menekankan penjelasannya itu tidak ada kaitannya dengan pihak yang pro atau tidak dengan syariat Islam.

Terkait soal Qanun, Kabiro Monitoring dan Dokumentasi KontraS, Feri Kusuma, mengatakan tidak semua polisi syariat Islam di Aceh paham tentang agama dan perilaku. Menurutnya salah satu penyebabnya adalah proses perekrutan yang sangat longgar.

Selain itu Feri melihat aturan yang ada di Qanun lebih menitikberatkan untuk perempuan. Di samping itu Feri merasa Qanun hanya berlaku untuk masyarakat sipil golongan ekonomi lemah, bukan pejabat negara, aparat kepolisian atau militer. “Hukum syariat Islam (di Aceh,red) hanya berlaku bagi golongan masyarakat kelas menengah ke bawah, tukang becak dan masyarakat kecil lain,” ungkapnya.

Feri menyebut KontraS dan sejumlah lembaga lainnya pernah mendorong agar ada perubahan dalam Qanun yang berlaku di Aceh. Sehingga, peraturan daerah yang ada di Aceh mengacu peraturan perundang-undangan nasional. Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU), Himpunan Ulama Daerah Aceh (HUDA), Dinas Syariat Islam dan sejumlah lembaga lainnya ikut membahas hal tersebut.

Hasilnya, pada tahun 2011 berbagai lembaga itu sepakat untuk menerbitkan rekomendasi yaitu bagaimana aturan hukum di Aceh mengandung nilai Islami dan tidak menggunakan pendekatan kekerasan. Sayangnya, rekomendasi itu ditentang oleh sejumlah pihak dan dianggap anti terhadap syariat Islam, lanjut Feri.

Dalam kasus yang menimpa PT, Feri menjelaskan, ketika seseorang ditangkap oleh polisi syariat Islam biasanya orang tersebut akan dinasehati di muka umum. Lingkungan sekitar menilai orang yang ditangkap itu sangat memalukan. Sehingga, tak jarang orang tersebut cenderung dikucilkan oleh lingkungan atau bahkan diusir. Feri khawatir hal itu yang dialami oleh PT dan akhirnya dia depresi sehingga memutuskan untuk bunuh diri.

Tags: