Calon Hakim Ad Hoc HAM Gagal, Amnesty International: Pemerintah Tak Serius Benahi HAM
Terbaru

Calon Hakim Ad Hoc HAM Gagal, Amnesty International: Pemerintah Tak Serius Benahi HAM

Sedari awal proses seleksi calon hakim ad hoc HAM sudah bermasalah. Seperti calon pilihan KY dan diseleksi DPR itu tidak ada yang memiliki kemampuan layak dan bebas kepentingan untuk mengadili kasus pelanggaran ham berat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Foto: Istimewa
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Foto: Istimewa

Sidang paripurna DPR telah menetapkan calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM MA yang lolos uji kepatutan dan kelayakan. Dari 6 calon hakim agung (CHA) dan 3 hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) MA, hanya 3 hakim agung yakni Lucas Prakoso untuk kamar perdata, Imron Rosyadi untuk kamar agama, dan Lulik Tri Cahyaningrum untuk kamar Tata Usaha Negara. Ironisnya, tak ada satupun calon hakim ad hoc HAM untuk MA yang lolos seleksi di DPR, mengindikasikan adanya persoalan.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, berpendapat kandasnya tiga calon hakim ad hoc HAM untuk di MA  menunjukkan pemerintah tidak serius membenahi situasi HAM. Termasuk tak serius memperkuat penyelesaian pelanggaran HAM, dan mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah air.

“Apalagi ada yang dipertaruhkan dari situasi tersebut dalam waktu dekat, yaitu vonis atas kasus pelanggaran HAM berat di Paniai terancam inkracht van gewjisde,” ujarnya dikonfirmasi, Rabu (5/4/2023).

Menurut Usman, harapan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat Paniai untuk mendapat keadilan seolah dipermainkan. Sebab belum ada calon hakim ad hoc HAM MA yang dinyatakan memenuhi syarat untuk menggelar persidangan pelanggaran HAM berat pada tingkat kasasi. Padahal jangka waktu untuk menyidangkan kasus Paniai pada tingkat kasasi sangat sempit sebelum dinyatakan inkracht van gewjisde alias putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Baca juga:

Usman mencatat, sedari awal proses seleksi calon hakim ad hoc HAM sudah bermasalah. Misalnya, calon pilihan Komisi Yudisial (KY) dan diseleksi DPR itu tidak ada yang memiliki kemampuan layak dan bebas kepentingan untuk mengadili kasus pelanggaran ham berat.  Seperti kasus Paniai. Pengadilan sebagai institusi dan setiap hakim harus independen.

Menurut Usman, hakim harus memutus perkara secara independen, tidak memihak, berdasarkan fakta, sesuai hukum, tanpa campur tangan, tekanan, atau pengaruh dari setiap cabang pemerintahan dan lainnya. “Kami sebelumnya sudah mengingatkan bahwa orang-orang yang akan diangkat sebagai hakim harus dipilih terutama berdasarkan keahlian hukum dan integritasnya,” ujarnya.

Mantan Koordinator Kontras itu mengatakan, hal tersebut sesuai prinsip-prinsip dasar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang kemandirian kehakiman. Prinsip dasar PBB itu menegaskan bahwa orang-orang yang dipilih untuk jabatan yudisial merupakan individu yang memiliki integritas dan kemampuan dengan pelatihan atau kualifikasi yang sesuai di bidang hukum.

Tags:

Berita Terkait