Cara Ini Bisa Cegah Praktik Transaksional Dalam Pemilu
Berita

Cara Ini Bisa Cegah Praktik Transaksional Dalam Pemilu

Kodifikasi UU Pemilu harus mendorong peserta pemilu mengedepankan visi dan misi serta program kepada publik. Dana kampanye dan dana Pemilu harus masuk dalam satu rekening.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Dalam perhelatan pemilu di tingkat nasional dan daerah sering dijumpai berbagai praktik pelanggaran. Salah satu yang jadi sorotan yakni maraknya praktik transaksional untuk memenangkan pemilihan. Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz, menilai proses kontestasi dalam pemilu yang ada di Indonesia sangat transaksional. Akibatnya, parpol atau kandidat calon yang punya dana besar sangat berpeluang untuk memenangkan pemilu.

Praktiknya, para kandidat calon ataupun parpol tidak mengedepankan visi dan misi serta program ketika berinteraksi dengan publik. Masykurudin melihat, mayoritas menggunakan cara-cara transaksional seperti memberikan uang atau barang untuk mempengaruhi pemilih. Kondisi itu membuat arena pemilihan tidak seimbang karena kandidat yang berkualitas tapi minim dana belum tentu menang karena kalah dengan kandidat lain yang memiliki dana besar.

Ujungnya, pemilu menghasilkan pemimpin yang tidak berpihak pada publik. Masykurudin menjelaskan, hal itu dapat dilihat dari munculnya kebijakan-kebijakan yang tidak menyejahterakan masyarakat. “Kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara termasuk anggota parlemen bukan saja terjadi karena mereka korup, tapi proses seleksi kepemimpinan (pemilu) di tingkat pusat dan daerah bersifat transaksional,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (02/6).

Saat kandidat yang melakukan transaksional itu terpilih, Masykurudin mengatakan, arah kebijakannya bakal mengikuti pihak yang memberi sumbangan terbesar kepada dirinya saat menjadi kontestan dalam pemilu. Padahal, kandidat yang terpilih itu menang karena dipilih oleh rakyat.

Untuk membenahi persoalan itu, lanjut Masykurudin, kodifikasi UU Pemilu yang diusung sejumlah organisasi masyarakat sipil harus mengatur hal ini. Tujuannya agar tidak terjadi situasi politik yang transaksional dalam pemilu. Cara yang bisa dilakukan diantaranya mendorong agar para kandidat dan parpol mengedepankan visi dan misi serta program, bukan memberi uang atau barang kepada pemilih.

Kodifikasi UU Pemilu itu juga perlu mendorong parpol melaksanakan kampanye terhadap para kandidat yang diusungnya. Dengan begitu kampanye sifatnya tidak dilakukan secara individu oleh masing-masing kandidat. Kemudian, perlu diatur agar kontrol dari penyumbang besar terhadap kandidat dan parpol bisa diminimalisir. Sehingga ketika kandidat terpilih, orientasi kebijakannya mengarah pada kesejahteraan untuk masyarakat luas.

Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas, Masykurudin mengusulkan, agar dana kampanye dan dana politik para kandidat atau parpol dimasukkan dalam satu rekening. Selain memudahkan pengawasan, parpol atau kandidat juga mudah dalam menyampaikan laporan penggunaan dana kampanye dan dana politik. Berikutnya, sumbangan dan belanja para kontestan harus dibatasi. Segala transaksi keuangan yang digunakan harus melalui mekanisme antar rekening, memperkecil penggunaan uang tunai.

“Pelaporan dana politik dan dana kampanye harus periodik, dilakukan di tahap awal, tengah dan akhir. Kemudian harus dilakukan audit yang sifatnya investigatif, bukan administratif,” ucap Masykurudin.

Wakil Koordinator ICW, Ade Irawan, melihat ada perbaikan dalam mendorong transparansi kandidat seperti mewajibkan pelaporan dana kampanye. Namun, langkah itu belum cukup karena masih banyak ditemui laporan yang tidak sesuai dengan kondisi faktual. Misalnya, dalam laporan tertulis kandidat dan parpol, dana kampanye yang dikeluarkan sangat kecil daripada fakta yang ditemukan di lapangan.

Ade mencatat, ada beberapa aspek dalam pelaporan dana kampanye diantaranya penerimaan. Misalnya, kandidat biasanya tidak memberikan data yang jujur terhadap besaran dana yang mereka terima. Ada sumbangan yang diterima kandidat tapi tidak masuk dalam laporan tersebut. Soal audit, standar audit yang ditetapkan hanya mengikuti standar akuntansi, tidak menyentuh pada substansi.

Oleh karena itu Ade mengusulkan agar penegakan sanksi lebih tegas. Audit terhadap dana kampanye jangan sekedar memenuhi standar akuntansi tapi untuk tujuan khusus sehingga menyasar substansinya. Ia mengingatkan data PPATK menunjukkan banyak uang tunai dan transaksi yang mencurigakan menjelang pemilu. “Sejumlah kasus korupsi besar itu terjadi menjelang pemilu. Itu menunjukkan proses transaksional pemilu sudah dilakukan sejak jauh hari sebelumnya,” urainya.
Tags:

Berita Terkait