Catatan ICW untuk Memperkuat Kinerja DPR dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
Terbaru

Catatan ICW untuk Memperkuat Kinerja DPR dalam Upaya Pemberantasan Korupsi

Selain lemahnya fungsi legislasi yang pro terhadap pemberantasan korupsi, juga lemahnya fungsi pengawasan DPR berkontribusi terhadap anjloknya kinerja lembaga penegak hukum yang antikorupsi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi bertajuk 'Evaluasi Kinerja DPR 2019-2024' di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Foto: RFQ
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi bertajuk 'Evaluasi Kinerja DPR 2019-2024' di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Foto: RFQ

Sejatinya semua kalangan dapat berkontribusi dalam agenda pemberantasan korupsi di tanah air. Terlebih, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif yang merancang dan membentuk peraturan perundang-undangan terutama di bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Namun sayangnya, lembaga legislatif seolah kurang tidak pro terhadap upaya pemberantasan korupsi di tanah air.

“Tidak heran jika kemudian produk hukum yang dihasilkan DPR seringkali berseberangan dengan harapan masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi,” ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam sebuah diskusi bertajuk Evaluasi Kinerja DPR 2019-2024” di Jakarta, Rabu (26/10/2022).

Untuk itu, ICW memberi catatan terhadap DPR dalam upaya memperkuat agenda pemberantasan korupsi dari aspek legislasi. Pertama, penggembosan agenda pemberantasan korupsi. Dalam rentang tiga tahun terakhir sejak 2019-2022, kinerja legislasi masih mengecewakan. Periode 2022 misalnya, dari 40 RUU yang terdaftar dalam Prolegnas Prioritas, baru 12 RUU yang berhasil dirampungkan. Ironisnya, tak satupun regulasi yang dihasilkan anggota dewan memperkuat agenda pemberantasan korupsi.

Misalnya, dari puluhan RUU, Komisi III DPR hanya bertanggung jawab membahas 5 RUU. Seperti Revisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang sudah disahkan menjadi UU No.11 Tahun 2021; RKUHP; Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang sudah disahkan menjadi UU No.22 Tahun 2022; Rancangan KUH-Perdata; dan Revisi UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dari dua rancangan legislasi yang telah disahkan menjadi UU, ternyata UU 22/2022 memiliki muatan paling problematik.

“Betapa tidak, bukannya memperketat, RUU Pemasyarakatan malah menghapus syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk menerima remisi, asmiliasi, dan pembebasan bersyarat,” ujarnya.

Pada 6 September 2022, setidaknya 23 napi tipikor mendapat pembebasan bersyarat. Seperti Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang putusannya baru inckracht pertengahan tahun 2021 lalu menjadi satu diantara puluhan koruptor penikmat berlakunya UU 22/2022 itu. Ironisnya, DPR terus mengulur pembahasan sejumlah RUU yang memperkuat agenda pemberantasan korupsi.

Seperti Revisi UU Pemberantasan Tipikor, RUU Perampasan Aset, dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Buktinya, salah satu pimpinan Komisi III dalam rapat dengar pendapat (RDP) April 2022 lalu, menegaskan keengganannya mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Tags:

Berita Terkait