Catatan Kritis terhadap Prolegnas Prioritas 2020
Berita

Catatan Kritis terhadap Prolegnas Prioritas 2020

Ada sejumlah isu semestinya tak perlu diatur dalam bentuk UU, namun justru diusulkan menjadi RUU. Sebaliknya, RUU yang semestinya diterbitkan, justru tak muncul dalam Prolegnas Prioritas 2020. Misalnya, RKUHAP, RUU ITE, RUU tentang Jabatan Hakim.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya ini juga menyoroti soal RUU Omnibus Law yang diarahkan pada peningkatan investasi dan kemudahan berusaha/bekerja. Dia mempertanyakan RUU Kefarmasian masuk sebagai omnibus law, sementara di sisi lain terdapat RUU Pengawasan Obat dan Makanan.

 

“Poin pentingnya, konsep omnibus law yang diharapkan sebagai UU ‘sapu jagad’ tampak belum terkonsolidasikan dengan baik dari sisi konsep dan implementasi melalui Prolegnas Prioritas Tahun 2020 ini,” katanya.

 

Catatan ICJR

Sementara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju meminta agar penyusunan RKUHP, Menkumham Yasonna H Laoly melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam pembahasan lanjutan. Tak terkecuali, akademisi dan ahli seluruh bidang disiplin ilmu terkait kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat.

 

“Meminta agar pemerintah membentuk Komite Ahli yang diperluas keanggotaannya yang mencerminkan berbagai bidang dan kajian ilmu untuk melanjutkan pembahasan RKUHP,” ujar Anggara saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (12/6/2019).

 

Bagi ICJR, terdapat lima catatan penting mengenai pembahasan RKUHP ini. Pertama, pembahasan RKUHP semestinya tidak dibatasi pada 14 pasal yang dianggap bermasalah oleh pemerintah. Padahal, elemen masyarakat menilai setidaknya terdapat 24 isu dari pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP.

 

“Termasuk isu pengaturan hukum yang hidup dalam masyarakat yang merupakan penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi,” kata dia.

 

Kedua, menyesalkan DPR dan pemerintah tak memasukkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Sebab, sistem peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain tidak konsisten. Ujungnya, menimbulkan ketidakterpaduan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait