Catatan May Day 2021, 11 Regulasi Ini Dinilai Rugikan Buruh
Utama

Catatan May Day 2021, 11 Regulasi Ini Dinilai Rugikan Buruh

Mulai dari pemotongan upah buruh, penundaan membayar THR, upah minimum diimbau tidak naik, upah padat karya, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Dia menilai pemerintah terkesan membiarkan kesenjangan upah minimum antara kota/kabupaten pada suatu provinsi yang seharusnya bisa diperkecil dengan adanya kenaikan upah minimum provinsi. Kewenangan gubernur dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) juga diintervensi pemerintah pusat dan mengabaikan peran Dewan Pengupahan Daerah.

Keempat, SE Menaker No.M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Nining menilai SE THR yang diterbitkan tahun 2021 mulai ketat ketimbang edaran THR sebelumnya. Tapi SE Menaker tersebut masih membuka celah bagi pemberi kerja untuk menghindari pembayaran THR sesuai aturan karena tidak menjabarkan tolak ukur dampak pandemi terhadap ketidakmampuan keuangan perusahaan.

Kelima, Permenaker No.2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19. Nining melihat Permenaker ini melegalkan pemotongan upah buruh sampai 31 Desember 2021 dengan alasan dampak pandemi Covid-19 terhadap keuangan perusahaan. “Tapi tidak ada parameter yang jelas dan tegas mengenai dampak pandemi terhadap ketidakmampuan perusahaan dan tidak ada batas maksimal besaran upah yang dapat dipotong.”

Keenam, tahun 2020 pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja. Proses penyusunan UU Cipta Kerja dinilai cacat prosedur, tidak demokratis, dan banyak mendaur ulang pasal inkonstitusional. Dia menilai UU Cipta Kerja memudahkan korporasi untuk mendapat keuntungan dengan cara merampas dan menghancurkan ruang hidup rakyat. Ketujuh, PP No.34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Peraturan turunan UU Cipta Kerja ini memudahkan dan membuka lebar masuknya investasi asing, sehingga berpotensi meningkatkan jumlah TKA yang masuk Indonesia.

Delapan, PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK). Aturan pelaksana UU Cipta Kerja ini dinilai melegitimasi kontrak kerja panjang karena mengubah periode PKWT yang awalnya 2 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun diganti menjadi 5 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 5 tahun. Selain itu, menambah batasan waktu kerja lembur dari maksimal 3 jam per hari atau 14 jam seminggu menjadi 4 jam per hari atau 18 jam seminggu.

Tak hanya itu, mekanisme PHK dipermudah dan memangkas kompensasi pesangon. PP No.35 Tahun 2021 membolehkan PHK dengan alasan efisiensi dan ini sering dimanfaatkan perusahaan untuk melakukan PHK massal dengan alasan pandemi, tapi kembali merekrut buruh baru dengan jangka waktu kontrak yang panjang atau outsourcing. “Padahal, putusan uji materi UU Ketenagakerjaan di MK pernah menyatakan penjelasan ‘efisiensi’ tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.

Sembilan, PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Bagi Nining PP tersebut melanggengkan rezim upah murah dan pekerjaan tidak layak bagi buruh karena standar kebutuhan hidup layak (KHL) tidak lagi menjadi penentu/ukuran dalam kenaikan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait