Catatan Penting Pegiat Konstitusi atas Putusan Judicial Review UU Cipta Kerja
Utama

Catatan Penting Pegiat Konstitusi atas Putusan Judicial Review UU Cipta Kerja

Masyarakat juga harus mengawal langkah yang dilakukan pembuat UU atas putusan ini.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait uji materi UU Cipta Kerja. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan terkait uji materi UU Cipta Kerja. Foto: RES

Uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun ada 4 hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda). Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Cipta Kerja dinilai cacat formil dan inkonstitusional bersyarat dengan menentukan beberapa implikasi atas berlakunya UU tersebut. Sebab, proses penyusunan UU Cipta Kerja tersebut tidak memenuhi asas, metode, baku/standar, sistematika pembentukan peraturan.   

Beragam respons pun diberikan atas putusan tersebut, salah satunya yang dilakukan Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif. Lembaga riset independen di bidang hukum konstitusi dan demokrasi ini mengapresiasi putusan tersebut karena dianggap ada progresivitas pendekatan MK dalam memeriksa pengujian formil.

Pertama, mengingatkan bahwa tujuan strategis undang-undang tidak boleh mengabaikan konstitusionalitas aspek pembentukan undang-undang. Kedua, pemenuhan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang sebagai bentuk kedaulatan rakyat (people's sovereignty).

Ketiga, menekankan implementasi asas keterbukaan berupa akses publik terhadap RUU, naskah akademik, dan dokumen terkait pembentukan undang-undang lainnya guna meningkatkan kualitas undang-undang serta meningkatkan kepercayaan publik dan legitimasi pembentuk undang-undang.

“Menetapkan standar-standar pembentukan undang-undang yang konstitusional di setiap tahapan,” kata Plt Ketua KoDe Inisiatif Violla Reininda dalam keterangan tertulisnya pada poin keempat. (Baca: MK Minta UU Cipta Kerja Diperbaiki, Bukti Partisipasi Publik Perlu Dibuka Seluas-luasnya)

Kemudian poin kelima yaitu kembali menegaskan bahwa UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan undang-undang organik turunan Pasal 22A UUD 1945 sebagai landasan untuk menilai konstitusionalitas proses pembentukan undang-undang.

Sejumlah catatan

Selain mengapresiasi, Violla juga memberikan sejumlah catatan terhadap putusan tersebut. Menurutnya MK masih setengah hati dalam menegakkan supremasi konstitusi di tengah carut-marut proses pembentukan undang-undang di Indonesia sepanjang dua tahun ke belakang. Selain itu mahkamah juga dianggap tidak tegas dengan membiarkan UU Cipta Kerja tetap berlaku hingga setidaknya dua tahun ke depan.

“Belum lagi, dalam amar putusan, MK lebih menitikberatkan pada aspek pembentukan dan aspek materiil bahkan belum tersentuh. Hal ini sangat berpotensi mengakibatkan perubahan hanya terjadi secara parsial di aspek pembentukan saja,” jelasnya.

Kemudian meskipun MK melarang pembentukan peraturan pelaksana baru, setidaknya terdapat 51 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang sudah disahkan dan tetap akan berlaku serta berdampak pada kehidupan masyarakat, termasuk pula aturan turunan yang ditentang publik. Putusan ini juga tidak memulihkan hak konstttusional para Pemohon.

Sebab pelanggaran prosedur yang terjadi tidak lantas diinvalidasi. MK tidak menarik korelasi antara proses pembentukan undang-undang yang buruk dapat berimplikasi pada substansi yang buruk pula. Belum lagi, kata Violla konsekuensi hukum dari adanya cacat formil suatu undang-undang adalah batalnya undang-undang secara keseluruhan.

Oleh karena itu, mengingat pelanggaran formil UU Cipta Kerja berkenaan dengan aspek fundamental pembentukan undang-undang (aspek partisipasi publik yang bermakna, aspek transparansi, aspek bentuk hukum, asas kejelasan tujuan, asas kejelasan rumusan, dan metode pembentukan), MK seharusnya tidak berdalih dengan amar “inkonstitusional bersyarat”. 

MK seharusnya secara tegas membatalkan keseluruhan undang-undang. Sebagaimana pernah diuraikan dalam dissenting opinion dua hakim konstitusi pada Pengujian Formil UU Pertambangan Mineral dan Batubara, satu saja terbukti pelanggaran prosedur akan meruntuhkan konstitusionalitas suatu undang-undang.

“Pendirian demikian pernah MK kukuhkan dalam Putusan Pengujian Materiil UU Sumber Daya Air (Putusan Nomor 85/PUU-XII/2013) dan Putusan Pengujian UU Perkoperasian (Putusan Nomor 28/PUUXI/2013),” pungkasnya.

Putusan MK terhadap pengujian UU Cipta Kerja juga belum final selama 2 tahun ke depan. Oleh karena itu Violla berkata perlu adanya partisipasi masyarakat untuk terus mengawal sejumlah perbaikan yang diputuskan oleh mahkamah. Salah satunya terkait dengan para pembuat undang-undang yang harus meninjau substansi UU Cipta Kerja dengan mempertimbangkan dan mengakomodasikan substansi UU yang diujikan secara materiil oleh pemohon.

Violla juga meminta pembuat undang-undang tidak sekedar menambahkan metode omnibus dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, melainkan juga secara maksimal mengimplementasikan asas pembentukannya pada perbaikan UU Cipta Kerja. Poin utamanya soal partisipasi publik yang bermakna sebagaimana disyaratkan oleh MK dalam pertimbangan hukum.

“Waktu yang cukup tergesa-gesa, serta transparansi dan aksesibilitas terhadap RUU, naskah akademik, dan dokumen pembentukan UU Cipta Kerja lainnya,” terang Violla.

Dengan adanya putusan ini, Violla juga berharap agar para pembuat undang-undang tidak bermanuver untuk mengambil keputusan strategis yang berdampak luas bagi masyarakat dan juga penyelenggara negara. Yang hal itu berkaitan dengan penerapan UU Cipta Kerja dan tidak membentuk peraturan pelaksana baru sepanjang dua tahun perbaikan sesuai putusan MK.

Dalam putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait UU Cipta Kerja, setidaknya ada beberapa hal yang termuat dalam amar putusan MK bernomor 91/PUU-XVIII/2020 ini. Pertama, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan”.

Kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Tags:

Berita Terkait