Catatan Walhi Atas Kinerja Kinerja Legislasi DPR di Bidang Lingkungan Hidup
Terbaru

Catatan Walhi Atas Kinerja Kinerja Legislasi DPR di Bidang Lingkungan Hidup

Peraturan perundang-undangan untuk kemudahan investasi bisnis ekstraktif sangat erat kaitan dengan investasi di sektor Sumber Daya Alam (SDA) cenderung dibahas secara diam-diam, minim keterbukaan, dan terkesan tergesa-gesa.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Koalisi Masyarakat Sipil saat diskusi bertajuk 'Evaluasi Kinerja DPR 2019-2022' pekan lalu di Jakarta. Foto: RFQ
Koalisi Masyarakat Sipil saat diskusi bertajuk 'Evaluasi Kinerja DPR 2019-2022' pekan lalu di Jakarta. Foto: RFQ

Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Satrio Manggala menilai catatan keberhasilan kinerja DPR RI semestinya tidak cukup pada seberapa banyak produk legislasi yang dihasilkannya, tapi kualitasnya harus diukur secara formil dan material. Pernyataan itu disampaikan Satrio Manggala dalam sebuah diskusi bertajuk “Evaluasi Kinerja DPR 2019-2022” pekan lalu di Jakarta.

Secara sederhana, ukuran produk legislasi dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, sejauh mana dokumen Naskah Akademik (NA) memenuhi standar kualitas substantif yang baik. Kedua, sejauh mana kualitas rumusan pasal dalam UU yang disahkan memenuhi standar dan asas yang telah ditentukan dalam prinsip pembentukan peraturan perundangan.Ketiga, soal bagaimana setiap tahap proses pembentukan UU dilakukan sesuai standar dan prinsip yang sesuai dengan asas yang terdapat dalam regulasi yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundangan.

Sayangnya, kata Satrio, adanya konflik kepentingan dalam tubuh DPR melahirkan pengesahan RUU menjadi UU yang sarat akan kepentingan investasi bisnis ekstraktif yang memperparah kerusakan ekologis. Menurutnya, peraturan perundangan untuk kemudahan investasi bisnis ekstraktif sangat erat kaitan dengan investasi di sektor Sumber Daya Alam (SDA) dibahas secara diam-diam (minim keterbukaan). “Bahkan terkesan tergesa- gesa disahkan,” ujarnya.

Seperti halnya di periode 2020, terdapat dua RUU yang dibahas dan disahkan. Pertama, RUU tentang Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law yang disahkan dan menjadi UU No.11 Tahun 2020. Kedua, revisi terhadap UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi UU No.3 Tahun 2020. Menurutnya, kedua UU tersebut disahkan dengan proses dan substansi pasal yang bermasalah, bahkan dinilai melanggar konstitusi.

Begitu pula dengan pengesahan RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi UU No.3 Tahun 2022 yang dipaksakan di tengah kondisi ekonomi negara yang tidak baik. Ironisnya, proses tidak demokratis karena tidak terbuka serta tak melibatkan partisipasi rakyat secara bermakna. “Ini cermin dari cara kerja anggota DPR RI dari tahun 2019 hingga saat ini,” kata dia.

Dia menilai berbanding terbalik soal kebutuhan regulasi yang penting dan urgen tidak dihiraukan sama sekali. Hal tersebur terlihat dari urgensi revisi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang justru ditangguhkan. Padahal, banyaknya kritik dan masukan terhadap pelaksanaannya, sehingga UU 24/2007 amat membutuhkan perbaikan. Situasi krisis iklim global dengan beban krisis ekologis yang manifes meningkatkan intensitas bencana di Indonesia belakangan terkahir.

Malahan negara kepulauan seperti Indonesia, semestinya sudah mulai berpikir kerentanannya terhadap krisis iklim. Setidaknya, lebih dari 83 ribu pulau-pulau kecil terdepan (terluar, red) dan 115 pulau kecil di wilayah perairan dalam Indonesia terancam tenggelam akibat dari perubahan iklim. Hal ini dapat mengakibatkan banyaknya yang akan menjadi pengungsi iklim dari penduduk daerah tersebut.

“Semestinya DPR RI mengarusutamakan sumber dayanya untuk segera bersiap sedia untuk membentuk satu regulasi mengenai perubahan iklim,” lanjutnya.

Sebaliknya, kata Satrio, DPR malah mengutamakan terbitnya UU yang sarat kemudahan investasi bisnis ekstraktif, serta meminggirkan perlindungan lingkungan hidup. Proses pembentukan RUU pun dilakukan dengan maraton. Bahkan, pasal-pasal lebih banyak memberikan kemudahan bagi investasi terlihat dengan kemudahan pemberian izin usaha, dan memberi materi pasal-pasal yang menghambat partisipasi rakyat dalam memastikan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Baginya, pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi rakyat tercermin dalam UU yang disahkan. Seperti Pasal 162 UU 3/2020 tentang Minerba.

“Akibat dari konflik kepentingan (conflict of interest) dalam tubuh DPR telah menjadi sangat serius telah berdampak pada pembuatan produk legislasi yang diampunya.”

Tags:

Berita Terkait