Cegah Korupsi, Perlu Simplifikasi Tarif Cukai
Berita

Cegah Korupsi, Perlu Simplifikasi Tarif Cukai

Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024 memasukkan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi cukai tembakau. Ilustrator: HGW
Ilustrasi cukai tembakau. Ilustrator: HGW

Pemerintah perlu melakukan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai agar penyimpangan dapat dicegah dan penerimaan negara dari cukai dapat ditingkatkan. Ada gap yang terlalu lebar dalam struktur tarif cukai. Simplifikasi sejalan dengan Roadmap Cukai 2017-2021, dan perlu disesuaikan dengan kebijakan terbaru.

Demikian antisari yang dapat dipetik dari diseminasi informasi lewat webinar “Penataan Kebijakan Penataan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi”, yang diselenggarakan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Senin (7/9). “Cukai sangat penting sebagai sumber penerimaan di banyak negara,” kata Direktur Pukat UGM, Oce Madril.

Indonesia juga sudah lama menjadikan cukai sebagai penerimaan negara. Secara hukum,  cukai dimungkinkan karena termasuk pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 23A UUD 1945 dan UU No. 11 Tahun 1985 tentang Cukai, sebagaimana diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007. Kebijakan teknis cukai diatur lebih lanjut lewat Peraturan Menteri Keuangan (PKM) dan beleidsregel dari Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan.

(Baca juga: Ini Insentif Sektor Bea Cukai untuk Pelaku Usaha dalam Penanganan Covid-19).

Hasil kajian yang dilakukan terhadap kebijakan tentang cukai menemukan fakta adanya gap yang lebar dalam struktur tarif. Penerimaan negara dari cukai memang terus meningkat. Tetapi gap struktur tarif antargolongan masih besar pada Peraturan Menteri Keuangan No. 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Gap dimaksud adalah gap tarif antargolongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Oce Madril menjelaskan gap tarif dalam PMK No. 152 Tahun 2019 tadi merupakan yang terbesar sejak sistem tarif spesifik diterapkan pada cukai hasil tembakau buatan dalam negeri. Ini terjadi karena penyederhanaan Golongan I SKM dan SPM. Seharusnya gapnya tidak terlalu lebar sehingga mencegah penyimpangan. Penyederhanaan itu seharusnya diikuti pengurangan layer dalam struktur tarif. “PMK 2019 menyimpang dari simplifikasi karena layer-nya masih banyak,” ujar Oce.

Gap tarif cukai tembakau yang terlalu tinggi dapat menyebabkan tindakan manipulasi, misalnya dengan menurunkan laporan produksi guna menghindari kewajiban cukai strata tertentu. Bagaimana cara kerjanya? Misalkan PT X memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang. Merujuk pada tarif cukai terbaru, perusahaan PT X membayar cukai kepada negara sekitar 1,4 triliun rupiah dengan asumsi cukai per batang Rp485. Perusahaan X sengaja tidak memproduksi 3 miliar batang rokok atau lebih agar tidak dikualifikasi sebagai SPM Golongan I. Sebab jika masuk golongan I dan memproduksi 3 miliar batang rokok, maka cukai untuk negara bisa mencapai 2,37 triliun. Di sini, tampak PT X menahan produksi di angka 2,9 miliar batang. Ilustrasi ini memperlihatkan peluang penyimpangan akibat gap struktur tarif yang berlaku saat ini.

Sekretaris Jenderal Transparensi Internasional Indonesia, Danang Widoyoko, berpendapat penyederhanaan cukai diperlukan untuk mendorong persaingan sehat, melindungi pabrikan rokok kecil dan menengah, dan menjamin ketersediaan lapangan kerja. Menurut Danang, simplifikasi sebenarnya sudah diatur dalam PMK No. 146/PMK.010/2017. Penyederhaan diperlukan agar pemain besar asing tidak lagi membayar cukai murah dengan cara ‘memainkan’ gap tarif. Danang menyarankan penggabungan batasan produksi SPM dan SKM.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait