Dalam kasus tersebut Bellecia menilai terjadi regulatory state capture yakni monopoli pengiriman benih lobster ke luar negeri melalui kemudahan perizinan. Edhy menerbitkan kebijakan yang membuat perusahaan milik rekan bisnisnya menjadi satu-satunya perusahaan yang bisa mengekspor benih lobster.
Korporasi juga terlibat baik yang mengekspor benih lobster dan jasa ekspedisi. Korporasi bisa dijerat pidana menggunakan dasar hukum Peraturan Mahkamah Agung No.13 Tahun 2016 dan Peraturan Jaksa Agung No.28 Tahun 2014 mengenai pemidanaan bagi korporasi.
Dari berbagai persoalan itu, Bellicia menyebutkan pentingnya penegakan aturan dan pengawasan serta koordinasi antar kementerian dan lembaga serta basis data yang terintegrasi dan mutakhir.
Bellecia juga merekomendasikan pemerintah untuk mengintegrasikan berbagai data terkait perikanan guna memudahkan dalam pengawasan dan membuat kebijakan. Harmonisasi kebijakan dan penegakan hukum harus dilakukan secara efektif. Terakhir, transparansi informasi setiap korporasi di sektor perikanan.
Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, menyebut salah satu tantangan sekaligus kendala yang dihadapi lembaganya yakni alokasi APBN untuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) relatif kecil. Dari anggaran APBN untuk KKP sebesar Rp6 triliun, setengahnya untuk membayar gaji pegawai. Apalagi Kementerian Keuangan melakukan refocusing anggaran, sehingga anggaran KKP dipangkas Rp1,7 triliun.
Anggaran yang tersedia itu tidak sebanding dengan beban kerja yang dipikul KKP. Untuk menyiasati hal tersebut, Menteri KKP menetapkan kebijakan prioritas. “Untuk penangkapan ikan, kebijakan yang diterapkan yakni penangkapan ikan secara terukur mempertimbangkan ekologi dan ekonomi,” kata Wahyu.